Jakarta (ANTARA News) - Moratorium penebangan hutan dinilai sejumlah aktivis LSM lingkungan hidup merupakan satu-satunya cara yang harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan hutan Indonesia.
"Moratorium adalah satu-satunya cara untuk menghentikan pengrusakan hutan Indonesia," kata Koordinator CSF (Civil Society Forum), Giorgio Budi Indrarto, dalam konferensi pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Jumat.
Giorgio yang akrab dipanggil Jojo itu mengemukakan, moratorium penebangan hutan yang merupakan implementasi dari perjanjian "Letter of Intent" (LoI) antara Indonesia dan Norwegia itu bermanfaat digunakan untuk menata kembali kawasan hutan.
Pembicara lainnya, Koordinator Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan Mohammad Djauhari mengatakan, moratorium penting untuk dilakukan dengan segera antara lain karena telah banyak kawasan lahan gambut yang telah dan berpotensi dikonversi menjadi perkebunan untuk kelapa sawit.
"Ini mencemaskan karena ada masyarakat adat yang sangat bergantung pada rawa gambut," kata Djauhari.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, mengatakan, moratorium sebenarnya bukanlah merupakan usulan yang datang dari Norwegia, tetapi usulan yang datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap isu lingkungan dan juga dari masyarakat adat di hutan.
Abdon menyesalkan karena masih terdapat politisi termasuk sejumlah anggota DPR yang menyatakan bahwa moratorium tersebut merupakan salah satu bentuk intervensi asing.
"Moratorium sudah kita suarakan sejak hampir 15 tahun lalu," katanya.
Sedangkan Peneliti LSM Huma, Bernardinus Steni, mengatakan, bila moratorium tidak dijalankan, maka konflik antara industri dan warga berpotensi tetap terjadi yang dapat mengakibatkan kriminalisasi terhadap warga.
Sementara itu, Juru Kampanye Perubahan Iklim Walhi, Teguh Surya, memaparkan, moratorium dalam bentuk kegiatan penundaan izin usaha sektor kehutanan harus menghasilkan penurunan laju deforestasi sebesar 50 persen dari angka resmi yang saat ini dikeluarkan Kementerian Kehutanan yakni sebesar 1,17 juta hektar/tahun.
Ia juga menginginkan agar pengkajian perizinan usaha kesehatan dan sektor terkait kehutanan telah 100 persen dilakukan dan penegakan hukum terhadap hasil pengkajian tersebut telah mencapai 50 persen.
Selain itu, cetak biru restrukturisasi industri kehutanan dan reformasi institusi kehutanan telah dilaksanakan setidaknya 50 persen dari total rencana pembenahan dalam cetak biru tersebut.
(M040/S004/A038)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011