Hal itu dikemukakan Nurhady Sirimorok dari Tim Pelaksana Kajian Rantai Nilai Sutra Sulawesi Selatan bersama Tim Peneliti Bappelitbangda Provinsi Sulsel, Knowledge Sector Initiative (KSI), Yayasan BaKTI dan Payo-payo di Makassar, Senin.
Dia mengatakan, kemunduran persuteraan di Sulsel drastis terjadi saat jumlah pelaku industri sutra di sektor hulu semakin berkurang, begitu pula para petani pembudidaya murbei dan ulat sutera.
Kalaupun ada yang tersisa, itu didominasi oleh perempuan berusia tua dan berpendidikan rendah. Gabungan sejumlah faktor yang saling terhubung menggerakkan kecenderungan penurunan persuteraan di daerah ini.
Akibatnya, lanjut Nurhady, terjadi ketergantungan terhadap bibit impor dengan kualitas yang inkonsisten, kegagalan beruntun yang memaksa petani beralih komoditas, dan penggunaan pestisida di kawasan pemeliharaan ulat sutera.
Sementara itu, rangkaian kebijakan pemerintah lebih berfokus pada perbaikan teknis yang bertujuan memacu produksi komoditas—lebih gencar dalam dua tahun terakhir, ketimbang petani yang terlibat di dalamnya.
Akhirnya, ketiga, tampak fragmentasi pada sejumlah lembaga pemerintah yang mengurangi keluwesan dalam mengatasi isu-isu yang dihadapi petani, yang sering kali melintasi batas-batas kelembagaan dan perubahan struktur kelembagaan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk mengembalikan kejayaan persuteraan Sulsel yang pernah menguasai 70 - 80 persen pasokan bahan baku nasional, terdapat sejumlah rekomendasi sebagai berikut meningkatkan kualitas produksi telur ulat sutra nasional dan memudahkan petani mengakses.
Selain itu, pengadaan institusi yang mengelola fasilitas produksi telur ulat sutera dan tenaga pendukungnya. Termasuk perbaikan sistem deteksi dini penyakit ulat sutra.
"Dan tak kalah pentingnya adalah penguatan kelembagaan petani sutera melalui pendampingan atau penyuluhan, juga fasilitas kemitraan antara petani dan pengusaha," tkatanya.
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021