Jika mengikuti `arahan` Bank Dunia dan LoI RI-Norwegia, berarti kawasan HPK tersebut tidak boleh dilepaskan menjadi areal pembangunan kebun sawit

Jakarta (ANTARA News) - Greenomics Indonesia memperkirakan paket regulasi moratorium terkait LoI Indonesia-Norwegia berpotensi besar akan diuji-materikan (judicial review) oleh para pihak terkait.

Hal itu, kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, di Jakarta, Jumat, akan terjadi jika paket regulasi moratorium yang dikeluarkan nanti tidak sejalan dengan Undang-Undang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) dan undang-undang lainnya.

Karena itu, Greenomics Indonesia juga berpendapat bahwa paket regulasi moratorium izin konversi lahan gambut dan hutan alam primer (termasuk sekunder) harus memperhatikan kasus-kasus dan kondisi-kondisi yang berkembang di lapangan, tidak berkutat pada "mimpi moratorium" di atas kertas.

Resiko yang harus ditanggung pemerintah, tegasnya, adalah paket regulasi moratorium tersebut bisa dengan mudah "dikalahkan" jika substansinya hanya "mengekor" pada kepentingan asing.

Karena itu, menurut dia, pihaknya menyarankan agar Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia perlu melihat fakta bahwa tidak semua kabupaten/kota memiliki areal terdegradasi dan terlantar yang memadai untuk ditawarkan kepada investor sawit.

Apalagi untuk kabupaten/kota yang hanya memiliki luasan APL sangat terbatas. Kalau tidak, menurut dia, daerah hanya memiliki kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK), yang areal tersebut memang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti untuk pembangunan kebun sawit.

Persoalannya, kata Elfian, banyak dijumpai fakta bahwa kawasan HPK di kabupaten/kota tersebut ternyata juga masih berhutan sekunder, bahkan ada juga yang masih berhutan primer.

"Jika mengikuti `arahan` Bank Dunia dan LoI RI-Norwegia, berarti kawasan HPK tersebut tidak boleh dilepaskan menjadi areal pembangunan kebun sawit."

Jika areal yang telah dicadangkan tersebut ada dalam RTRW kabupaten/kota dan kemudian dilarang oleh paket regulasi moratorium, katanya, kondisi itu akan membuat konflik pusat-daerah bakal mencuat tajam.
(A027/M012/A038)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011