Menurut Oscar, meskipun pelarangan tersebut sempat membuat harga bitcoin dan aset kripto lainnya jatuh, atensi dan minat masyarakat dunia sampai saat ini justru semakin banyak, terlebih saat masa pandemi seperti ini. Ia pun menilai seharusnya hal itu tidak menjadi sebuah kekhawatiran besar untuk para investor.
"Investor tidak perlu was was. Menurut saya, pengumuman ini hanya akan berdampak jangka pendek karena aksi market jual yang sifatnya memang hanya sementara. Namun secara jangka panjang tidak akan berdampak. Saya beri contoh. Pada 1 Januari 2021, harga Bitcoin menyentuh 29.576 dolar AS per koin atau setara Rp422 jutaan dengan kurs dolar hari ini. Coba lihat sekarang, harga Bitcoin sudah menyentuh di angka 43,942 dolar AS per koin atau setara Rp626 juta-an dengan kurs dolar hari ini," ujar Oscar dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Baca juga: Wamendag: Transaksi kripto alami lonjakan luar biasa
Oscar Darmawan menyampaikan, pernyataan dari PBoC mengenai pelarangan transaksi kripto bukanlah hal yang baru. Pada awal 2021, pemerintahan negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut mengumumkan akan menindak tegas seluruh aktivitas penambangan kripto.
Kabar tersebut disusul oleh pernyataan grup industri keuangan negara China pada Mei 2021 yaitu Asosiasi Keuangan Internet Nasional China, Asosiasi Perbankan China, dan Asosiasi Pembayaran dan Kliring China yang resmi melarang segala perdagangan kripto.
"Pernyataan aturan dari People's Bank of China tentang pelarangan transaksi kripto ini bukanlah hal baru dan menurut saya, pernyataan kemarin hanyalah sekadar pengingat. Menilik beberapa waktu ke belakang, larangan oleh pemerintah China terhadap kripto bukan pertama kalinya dikeluarkan," kata Oscar.
Bitcoin memang sejak akhir 2013 sudah dilarang di China. Pada 2017, pemerintahan China pernah menutup bursa kripto lokal. Kemudian pada Juli 2018, PBoC mengatakan ada sekitar 80 platform perdagangan kripto dan Initial Coin Offering yang ditutup. Pada 2019, PBoC mengeluarkan pernyataan akan memblokir akses ke semua bursa kripto domestik dan asing serta situs web Initial Coin Offering.
Baca juga: Ekosistem kripto berkepastian hukum dorong pertumbuhan transaksi
Ia menambahkan, China memang satu-satunya negara yang sangat keras terkait transaksi kripto. Namun ia menilai hal itu tidak perlu dikhawatirkan, mengingat banyak negara lain yang justru mendukung pertumbuhan aset kripto termasuk Indonesia. Indonesia memperbolehkan aset kripto menjadi suatu komoditas dan sudah resmi diatur dibawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
"Ekosistem China dirancang tertutup termasuk internet. China memblokir Youtube, WhatsApp, Facebook, Google dan menciptakan layanannya sendiri namun keempat layanan tersebut toh tetap berjaya sampai saat ini. Soal kripto, nyatanya masih ada negara lainnya yang mendukung pertumbuhan kripto seperti El Salvador yang baru baru ini melegalkan bitcoin sebagai alat pembayaran, Honduras dan Guatemala yang sedang melirik pelegalan bitcoin sebagai alat pembayaran, parlemen Ukraina yang telah mensahkan rancangan undang-undang yang melegalkan dan mengatur aset kripto, JP Morgan dan Bank of America yang mendukung kripto, serta Paypal yang sudah berekspansi ke Inggris Raya untuk menyediakan layanan jual beli kripto," ujar Oscar.
Hal yang cukup unik mengenai transaksi aset kripto adalah selama ada jaringan internet investor bisa menyimpan aset kriptonya sendiri. Tidak hanya secara daring, investor pun bisa menyimpan aset kripto secara luring di dalam suatu USB flashdrive. Dengan hal unik seperti itu, lanjut Oscar, menjadi hal yang cukup sulit apabila suatu pihak menghalangi individu untuk memiliki aset kripto.
"Saya sendiri masih optimis terhadap kripto dan bitcoin. Karena apa? Negara negara lain termasuk "negara barat" toh mendukung inovasi ini. Berita dari China hanya berita usang sejak tahun 2013 dan bukan merupakan sesuatu yang baru," kata Oscar.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021