"Pemandangan itu menjadi keseharian saya dan tim kami yang gemar melakukan observasi kemiskinan di sejumlah kota, terutama Jakarta," ungkapnya kepada ANTARA.
Ia bersama kawan kawannya mendapat kesimpulan sementara, terjadi peningkatan sangat besar jumlah orang miskin yang suka berebut makanan sisa pesta, jika dibanding sepuluh tahun silam, atau di awal reformasi.
"Selain berebut nasi dan makanan sisa pesta di berbagai restoran serta gedung-gedung mewah lainnya, kemiskinan rakyat juga terungkap dari makin meningkatnya warga yang hanya bisa makan nasi jemuran," ujarnya.
Itu, menurutnya, bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi di berbagai pelosok Indonesia, utamanya di Pulau Jawa.
"Di Jakarta memang sangat kentara. Tadi pagi kebetulan saya ketemu seorang ibu di sebuah gang di kawasan Pejompangan yang sedang siap-siap menjemur nasi sisa-sisa dari tetangganya," ungkapnya.
Kepada Hatta Taliwang, si ibu memaparkan, dia tidak mampu lagi beli beras dan karenanya hanya bisa menjemur nasi sisa tetangga sebagai makanan kesehariannya.
Dia dan keluarganya mengaku tidak mampu lagi membeli beras yang harganya naik gila-gilaan.
"Dia akan menjemur nasi sisa tetangganya tersebut, lalu setelah kering dikukus, diberi garam sedikit dan kelapa, atau yang populer disebut `nasi aking`, maka siap untuk dimakan," katanya.
Namun, kalau si ibu butuh uang, lanjutnya, ternyata kelebihan "nasi aking" tersebut akan dijual seharga Rp2.000/Kg.
"Ini kan fakta kemiskinan di Jakarta yang notabene dekat dengan para elite penguasa kita. Tetapi dari teman sesama aktivis saya mendapat info banyak orang miskin di mana-mana sering berebut nasi sisa pesta yang akan dibuang para `office boy` ke tempat sampah," ujarnya lagi.
"Tukang nyiping" bertambah
M Hatta Taliwang juga mengungkapkan, selain pengelola "nasi aking", kini juga para "tukang nyiping" bertambah dari waktu ke waktu.
"Di berbagai pasar, ada mereka yang berprofesi memungut beras tercecer di sekitar tempat penjualan beras, atau yang disebut `tukang nyiping`. Jumlah mereka terus bertambah banyak di semua pasar. Kalau tahun-tahun sebelumnya mungkin hanya kurang dari 10, kini di atas 50-an per pasar," paparnya.
Mereka semua, menurutnya, mengandalkan hidupnya dari beras tercecer untuk ditanak sehari-hari.
"Ini kenyataan yang beberapa tahun lalu tidak kita jumpai begitu marak di ibukota," jelasnya.
Makanya, ia bertanya, masihkah kita semua percaya angka kemiskinan berkurang?
"Gambaran di atas baru di Jakarta. Bagaimana dengan mereka yang jauh dari ibukota? Inilah salah satu `output` kebijakan yang keliru dari para elite masa kini dan waktunya untuk diubah, bukan ditutup-tutupi atau dibantah dengan memberi angka bayang-bayang saja," kata M Hatta Taliwang. (M036/S019/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011