Yogyakarta (ANTARA News) - Pemerintah diharapkan menghargai keistimewaan Yogyakarta dengan tidak mengabaikan fakta sejarah, kata sejarawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Suhartono.

"Posisi Yogyakarta dengan keistimewaaannya jika berlatar belakang sejarah seharusnya tidak bisa dipisahkan dan dihilangkan," katanya pada dialog budaya `Yogyakarta Memang Istimewa`, di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, Selasa malam.

Keistimewaan itu, menurut dia, di antaranya posisi Sultan sebagai Raja Keraton dan Paku Alam sebagai Adipati Pakualam.

Selain itu, Yogyakarta yang dulu sebagai ibu kota negara juga memberikan andil bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang pada saat itu baru terbentuk.

Ia mengatakan selama empat tahun, 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, ibu kota Republik Indonesia (RI) berada di Yogyakarta.

"Pada saat itu pula, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan secara politis, dan memiliki posisi strategis dalam perjuangan dan pertahanan kemerdekaan," katanya.

Pengasuh Komunitas Budaya "Yogya Semesta" Hari Dendi mengatakan sejarah Yogyakarta dijalin dalam rajutan peristiwa dari sebuah negeri merdeka, yang kemudian menyatu dengan Republik Indonesia.

"Peristiwa itu tersurat menjadi bagian penting dalam catatan sejarah perjuangan bangsa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia," katanya.

Menurut dia, proses menuju ke-Indonesiaan yang berdaulat itu berjalan secara elegan. Dengan demikian, bisa dikatakan Yogyakarta adalah inkubator inovasi dan inspirasi ke-Indonesiaan.

"Di Yogyakarta pula dilahirkan dan dibesarkannya `maestro-maestro` seni yang bertaraf dunia. Hal tersebut menunjukkan seakan Yogyakarta adalah laboratorium penyemaian manusia Indonesia yang berwawasan semesta," katanya.(*)
(U.B015/M008/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011