Sulit mendapatkan pekerjaan saat ini. Daripada menganggur, lebih baik bekerja

Bandarlampung (ANTARA News) - "Ikannya kecil-kecil, dan belakangan ini makin sulit mendapatkannya," kata Marwan, nelayan jaring-tarik, yang oleh warga Lampung lebih dikenal sebagai nelayan payang, di pesisir Desa Sukaraja Telukbetung, Bandarlampung.

Desa Sukaraja merupakan perkampungan nelayan jaring-tarik di pesisir Kota Bandarlampung. Perkampungan nelayan itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu, namun keberadaannya mulai terjepit seiring dengan pesatnya pengembangan kota dan makin terpuruknya penghasilan para nelayan setempat.

Kondisi Desa Sukaraja sangat kumuh dan sampah plastik sangat banyak mengotori pesisir pantai desa tersebut. Berbagai industri juga terdapat di pesisir pantai yang berdekatan dengan wilayah perkampungan tersebut.

Nelayan di desa itu menangkap ikan dengan cara sangat sederhana. Setiap hari, pada pagi dan sore hari, puluhan nelayan berusia tua dan muda, akan terlihat menarik pukat ke darat. Jaring itu dibawa kapal kecil ke tengah laut, sekitar ratusan meter dari tepi pantai, kemudian ditebarkan.

Kemudian jaring itu ditarik oleh 6-11 nelayan menggunakan tali ke bibir pantai. Waktu yang dibutuhkan menariknya bisa mencapai kurang lebih dua jam. Ikan hasil tangkapan pukat tarik itu hampir tidak ada yang berukuran besar, umumnya hanya ikan kecil dan cumi-cumi.

Banyak warga Bandarlampung dan luar daerah yang mendatangi Desa Sukaraja untuk membeli ikan segar. Nelayan setempat pun lebih dikenal sebagai nelayan payang, meski mereka sebenarnya lebih pas disebutkan sebagai nelayan pukat-tarik, yakni jaring ikan yang ditarik dari tengah laut ke pinggiran pantai.

"Hampir tidak pernah lagi ada ikan ukuran besar. Dulu sih masih ada, belakangan ini tidak ada. Tapi di acara televisi kita lihat ikan besar didapatkan, namun dilepaskan lagi ke laut," katanya.

Dari sejumlah nelayan tarik pukat yang ditanyai, semuanya menyebutkan pendapatan mereka dari tahun ke tahun cenderung turun, karena makin sulit mendapatkan ikan laut.

Dengan bekerja empat jam sehari, setiap nelayan kadang bisa mendapatkan Rp7.500- Rp10.000. Kalau bekerja mulai pagi sampai sore, kadang bisa mendapatkan Rp10.000- Rp15.000 per nelayan.

"Itu pun kalau cukup banyak ikannya. Kalau hanya sedikit, hanya cukup untuk pemilik jaring dan kapal saja, nelayan tidak mendapatkan apa-apa sama sekali," kata Jamal, salah satu nelayan payang lainnya.

Dua tahun lalu, nelayan di Desa Sukaraja masih bisa mendapatkan Rp10.000- Rp15.000 setiap hari, namun kini makin sulit mendapatkan penghasilan sebesar itu.


Tetap digeluti

Pekerjaan sebagai nelayan pukat-tarik atau payang memang tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi mereka yang menggelutinya, namun pekerjaan itu tetap dilakoni oleh nelayan setempat dari tahun ke tahun.

Sejumlah nelayan setempat yang berusia cukup tua tetap bersemangat menarik pukat ke pantai dengan harapan mendapatkan ikan yang banyak, dan banyak juga kaum muda yang menggeluti pekerjaan itu meski penghasilannya kurang.

"Sulit mendapatkan pekerjaan saat ini. Daripada menganggur, lebih baik bekerja," kata salah satu nelayan payang setempat yang enggan disebutkan namanya.

Sejumlah nelayan lainnya juga menyatakan nada yang sama. Masa kerja mereka bahkan ada yang sudah mencapai di atas 20 tahun.

"Sudah hampir 22 tahun saya bekerja sebagai nelayan. Sulit mendapatkan pekerjaan lain selain sebagai nelayan," kata Jamal.

Sementara itu, dengan luas sekitar 1.890 km2 dengan kedalaman antara 10- 30 meter, Teluk Lampung adalah kawasan yang sangat potensial bagi industri perikanan.

Namun, perairan Teluk Lampung sudah tercemar dengan sampah organik dan non-organik, seperti sampah plastik dan limbah rumah tangga/industri, sementara terumbu karangnya telah rusak parah dan hutan bakaunya menuju ke arah kepunahan.

Faktor kerusakan lingkungan dan ekosistem inilah sebenarnya penyebab utama menurunnya pendapatan para nelayan, meski mereka selalu menghubungkannya dengan faktor gelombang laut yang tinggi atau cuaca ekstrem yang sedang terjadi.

Dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem ini paling banyak dirasakan oleh para nelayan tradisional, yang hanya mampu menangkap ikan di perairan dangkal Teluk Lampung.

Pengeboman ikan di Teluk Lampung tetap berlangsung, dan penangkapan ikan menggunakan pukat harimau tetap marak.

Di perairan Lempasing (Bandarlampung) dan Ringgung (Kabupaten Pesawaran), penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau kerap berlangsung tanpa ada tindakan dari pihak terkait. Modus yang umum digunakan adalah kapal berukuran sedang langsung menyebar jaringnya, kemudian ditarik segera oleh awak kapal yang berjumlah puluhan orang.

Karena tidak ada aturan tegas tentang ukuran pukat yang boleh digunakan, ikan-ikan kecil yang umumnya tertangkap dan terumbu karang mudah rusak. Akibatnya, nyaris tidak ada lagi ikan berukuran besar yang bisa ditemukan di perairan Teluk Lampung wilayah Bandarlampung dan Pesawaran.

Selain itu, perusakan terumbu karang juga terus berlangsung. Diperkirakan lebih dari 18 persen terumbu karang di Teluk Lampung dan sekitarnya saat ini telah mati.

Dua tahun lalu, Pemprov Lampung menyebutkan antara empat hingga 28 persen terumbu karang di kawasan itu tertutup pasir, sementara 0,6 hingga 45 persennya pecah atau bentuk morfologisnya sudah tidak utuh lagi.

Penyebab utama kematian terumbu karang disebutkan adalah bom-bom ikan yang digunakan para nelayan.

Anjloknya hasil tangkapan nelayan merupakan hasil pengrusakan dan pencemaran laut yang terus berlangsung, meski gelombang laut dan cuaca ekstrem juga berdampak terhadap hal itu.

Pengelola tempat pelelangan ikan (TPI) Gudanglelang Bandarlampung menyebutkan tangkapan ikan nelayan yang dilelang di tempat itu anjlok dalam seminggu terakhir, yakni dari tujuh ton menjadi tiga ton setiap hari.

"Berkurangnya hasil tangkapan nelayan itu mengakibatkan harga ikan melonjak, sementara jumlah pengunjung TPI juga meningkat," kata pengelola TPI tersebut, Junaedi.

Menurut dia, volume ikan tangkapan nelayan turun drastis akibat gelombang tinggi, kondisi cuaca yang tidak menentu, serta masih banyak nelayan yang belum melaut.

Ia menyebutkan setiap hari sekitar 50 kapal nelayan berukuran kecil dan sedang mengedrop tangkapannya untuk dilelang di TPI tersebut. Kapal-kapal nelayan tersebut melaut berkisar 4-7 hari untuk menangkap ikan. Harga ikan yang dilelang berkisar Rp200 ribu- Rp1 juta per keranjang.

Kapal-kapal berukuran sedang dan besar dari TPI Gudanglelang dan TPI Lempasing Bandarlampung mampu melaut lebih 10 hari untuk menangkap ikan ke perairan terluar Teluk Lampung, bahkan ke perairan provinsi tetangga, namun nelayan tradisional hanya mampu menangkap ikan di perairan dangkal Teluk Lampung.

Pencemaran dan kerusakan terumbu karang di Teluk Lampung, terutama perairan dangkalnya, tetap merajalela sehingga mengurangi secara drastis populasi ikan.

Berkaitan itu, sejumlah nelayan tradisioanal di pesisir Teluk Lampung, terutama nelayan payang, mengharapkan pemerintah memberikan tindakan yang lebih tegas terhadap siapa saja pelaku pengrusakan dan pencemaran di perairan Teluk Lampung. (*)
(T.H009/H-KWR/r009)

Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011