Jakarta (ANTARA News) - Indonesian Parliamentary Center (IPC) mengingatkan kalangan DPR RI segera memulai pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada awal masa persidangan ketiga DPR RI yang akan dibuka pada Senin (10/1).
"Memasuki masa sidang ketiga tahun kedua DPR RI, DPR dihadapkan satu persoalan yang kalau mereka tidak cermat akan menghambat kinerjanya," ujar peneliti IPC Ahmad Hanafi di Jakarta, Minggu.
Dijelaskannya, target yang akan dicapai DPR dalam menjalankan tugas legislasi tidak bisa lepas dari yang telah ditetapkan DPR dalam Prolegnas 2011. DPR menetapkan sebanyak 70 RUU dalam Prolegnas 2011 ditambah dengan lima RUU kumulatif terbuka. Dari 70 RUU yang ditetapkan, 38 RUU merupakan luncuran tahun 2010 dan 32 merupakan RUU baru.
"Banyak kalangan menganggap target yang ditetapkan oleh DPR tidak realistis dan tidak mungkin bisa dipenuhi," katanya.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan berbagai perkerjaan rumah DPR di bidang legislasi, DPR harus segera memulai pembahasan RUU. Tantangan awal yang harus segera dilaksanakan yaitu menyelesaikan pembahasan UU yang merupakan lungsuran dari 2010.
Berdasarkan pidato Ketua DPR pada penutupan masa sidang yang lalu, ada 16 RUU dalam proses pembicaraan tingkat I dan lima RUU dalam proses harmonisasi. Ini harus cepat diselesaikan agar mengurangi beban alat kelengkapan yang mengerjakan pembahasan RUU tersebut, dan pembahasan RUU lainnya bisa segera dilakukan.
Disamping itu, Badan Legislasi (Baleg) juga harus proaktif dalam mengevaluasi pembahasan RUU yang dilakukan oleh DPR. Peraturan tata tertib DPR pasal 60 memberikan kewenangan kepada Baleg untuk mengikuti perkembangan pembahasan dan melakukan evaluasi.
"Peran ini tidak terlihat dilakukan oleh Baleg sepanjang tahun 2010. Padahal hasil evaluasi ini penting dalam melaksanakan Prolegnas," ujar Hanafi.
Selain harus fokus dalam melaksanakan tugas legislasinya, IPC mengingatkan DPR agar mengurangi agenda yang dapat menggangu kelancaran tugas DPR, seperti studi banding ke luar negeri, sekalipun dalam rangka pembahasan UU.
"Selain dari segi anggaran hal ini jelas merupakan pemborosan uang negara, studi banding juga akan mengurangi efektivitas kerja karena banyak waktu yang akan terbuang percuma," katanya.
Menurutnya, seiring perkembangan akses informasi saat ini, agenda studi banding sudah tidak relevan lagi. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, DPR seharusnya sudah bisa membangun pusat data dan informasi yang menyediakan segala macam informasi. Pusat data dan informasi inilah yang menunjang kinerja DPR nantinya.
Ke depan, menurut IPC, agenda studi banding hanya dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan DPR, dan hal-hal yang dianggap sangat penting. Itu pun juga masih harus ditambah dengan perencanaan yang jelas serta pelaksanaan dan laporan yang transparan dan akuntabel. (*)
(T.D011/S024/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011