Jakarta (ANTARA) - Tim kuasa hukum Jumhur Hidayat keberatan terhadap sikap jaksa yang tidak menyertakan keterangan saksi-saksi dan barang bukti dari pihak terdakwa.
“Menurut saya, itu sesat pikir, karena terdakwa diberikan hak yang sama menghadirkan saksi meringankan baik saksi fakta maupun saksi ahli,” kata Koordinator Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) Oky Wiratama usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis.
TAUD merupakan nama tim penasihat hukum untuk aktivis buruh Jumhur Hidayat yang terdiri atas pengacara publik LBH Jakarta dan Lokataru.
Oky menerangkan hak itu diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Pasal 14 dalam Kovenan yang telah diadopsi oleh UU No. 12/2005 menyebutkan semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan.
Baca juga: Jaksa tuntut Jumhur Hidayat hukuman 3 tahun penjara
Oleh karena itu, Oky berpendapat terdakwa berhak mengajukan saksi-saksi dan bukti di persidangan.
“Ketika jaksa mengatakan (saksi dan bukti dari pihak Jumhur) dikesampingkan, pertanyaan saya, (apakah) jaksa membaca UU tentang hak sipil dan politik,” sebut Oky.
Oky Wiratama, pengacara publik LBH Jakarta, juga keberatan terhadap pertimbangan jaksa yang tidak menyertakan saksi dan ahli dari kuasa hukum karena mereka tidak masuk dalam berita acara perkara (BAP) kepolisian.
“Pak Jumhur tidak diberi kesempatan (menghadirkan) saksi yang meringankan dia saat di-BAP. Yang dilihat di sini fakta persidangan, bukan proses di kepolisian. Menurut saya, ini logika sesat pikir. Masyarakat bisa menilai kualitas seorang jaksa penuntut umum yang punya argumen seperti dia,” tegas Oky.
Dia menyebutkan penasihat hukum kecewa dengan sikap penuntut umum yang tidak memasukkan bukti tertulis berupa hasil analisis cuitan Jumhur di Twitter.
Baca juga: Kuasa hukum: Kasus Jumhur kriminalisasi terhadap suara kritis rakyat
Hasil analisis “Drone Emprit” yang dibuat oleh Ismail Fahmi menunjukkan cuitan paling berpengaruh soal UU Omnibus Law Cipta Kerja diunggah oleh akun @pukatugm. Cuitan Jumhur tidak masuk dalam daftar akun yang berpengaruh sehingga tuduhan jaksa bahwa aktivis buruh itu menyebabkan keonaran tidak terbukti, kata Oky.
Jaksa dari Kejaksaan Agung RI Puji Triasmoro di Jakarta, Kamis, menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Jumhur penjara selama 3 tahun.
Hukuman itu nantinya dikurangi masa penangkapan dan penahanan Jumhur selama mendekam di Rumah Tahanan Bareskrim Polri, Jakarta, sejak Oktober 2020.
Baca juga: Jumhur yakin kritik dalam cuitannya tak picu keonaran
Penuntut umum, yang diwakili oleh jaksa Puji Triasmoro dan Donny Mahendra Sany berpendapat Jumhur terbukti bersalah menyebarkan berita bohong dan menerbitkan keonaran sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Tuntutan jaksa itu bersumber dari cuitan Jumhur di Twitter pada 7 Oktober 2020 yang mengkritik pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Jumhur, lewat akun Twitter pribadinya, mengunggah cuitan: “UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”.
Dalam cuitannya, Jumhur mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul “35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja”.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021