Palangka Raya (ANTARA News) - Wanita Dayak Kalimantan Tengah merasa tersinggung dan dilecehkan guru besar sosiologi dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Thamrin Amal Tomagola, atas pernyataannya dalam sidang kasus video mesum tersangka Nazriel Irham alias Ariel Peterpan.

"Apa yang dikatakan Prof Thamrin sangat melecehkan sekali perasaan kami selaku wanita Dayak di Kalteng. Dalam adat Dayak perilaku tidak senonoh itu sendiri tidak dibenarkan dan akan dikenakan Jipen atau denda adat," kata tokoh wanita Dayak, Tuty Dau, yang juga anggota DPRD Provinsi Kalteng, di Palangka Raya, Minggu.

Dikatakannya, sebagai wanita Dayak sangat menjunjung tinggi adat, sopan satun dan tatakrama yang telah diajarkan nenek moyangnya dengan mengedepankan falsafah Huma Betang yang terjaga hingga saat ini.

"Dari mana hasil penelitian itu dan di mana ada orang Dayak yang seperti itu? Kami sangat berharap Thamrin menjelaskan secara benar di hadapan masyarakat Dayak di Kalteng," katanya.

Prof Thamrin Amal Tomagola dalam kapasitas ilmiahnya sempat memberikan keterangan ahli dalam sidang perkara video mesum dengan tersangka Nazriel Irham di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat.

Dalam salah satu keterangan ahlinya, Thamrin sempat mengemukakan adanya kebudayaan adat di Indonesia untuk berhubungan badan layaknya suami istri tanpa ikatan pernikahan, seperti di suku Dayak. Hal inilah yang kemudian memicu keberatan dari masyarakat Dayak di Kalimantan maupun daerah lain.

Mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Palangka Raya, Nelly, juga sangat menyayangkan pernyataan tidak etis yang dilontarkan guru besar UI tersebut, yang seharusnya jadi panutan mahasiswa sehingga hendaknya berpendapat ilmiah sesuai dengan gelar yang diisandangnya.

Terjadinya kebebasan seks, menurut dia, tidak bisa digeneralisir dengan sukunya, namun bisa saja terjadi oknum atau individu saja.

Sebagaimana keluhan berbagai unsur masyarakat Dayak, Nelly juga menginginkan Prof Thamrin Amal Tamagola mencabut keterangannya yang sangat merugikan dan bertentangan dengan adat, dan meminta maaf kepada suku Dayak.
(T.KR-GR/M019/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011