Keindahan alam Maluku membuat perempuan kelahiran Jember, Jawa Timur 9 September 1973 itu menginjakkan kaki dengan penuh semangat untuk melakukan misi pelayanan kemanusiaan di 11 kabupaten dan kota di Provinsi Maluku.
"Sampai hari ini sudah seluruh kabupaten dan kota di Maluku sudah terlayani, Kabupaten Seram Bagian Timur saya memang belum sampai di sana, tetapi pelayanan bagi kaum disabilitas sudah dijangkau melalui pemberian satu unit kursi roda dan bantuan kebutuhan pokok, sehingga semua telah terlayani," kata Dwi yang juga merupakan Direktur dan pendiri Clerry Cleffy Institute (CCI), dalam perbincangan dengan ANTARA baru-baru ini.
CCI adalah lembaga sosial yang didirikan untuk mengemban misi kemanusiaan di Maluku dan berfokus membantu kaum disabilitas dan kelompok marjinal.
Clerry Cleffy dikutip dari nama almarhum suaminya Clerry Cleffy Mailuhu, lelaki asal Ambon yang meninggal beberapa tahun setelah pernikakan mereka. Lembaga kemanusiaan itu pun menjadi bukti cinta mendalam Dwi Prihandini kepada sang suaminya.
Dengan kecintaan itu juga melahirkan cinta rasa empati Dwi yang kuat untuk memulai misi kemanusiaan membantu kaum disabilitas dan perempuan marjinal yang ada di pelosok daerah di Provinsi Maluku, dan selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah dan pihak manapun.
Yayasan yang dipimpinnya lebih memfokuskan pelayanannya kepada kaum marjinal dan penyandang disabilitas, karena faktor pendukung yakni tingkat kemiskinan yang juga menyebabkan keterbatasan akses pendidikan dan pemenuhan hidup sehari-hari.
Dalam perjalanan misi kemanusiaan itu banyak menemukan kondisi realitas bahwa para kaum marjinal bukan hanya mengalami keterbatasan fisik atau diskriminasi, tetapi juga mereka terbatas dalam pemenuhan hidup sehari-hari.
Bahkan dalam pelayanan mereka juga mendapati ada beberapa anggota keluarga yang dititipkan ke keluarga lainnya, karena keterbatasan taraf hidup dan ekonomi keluarga.
"Saya tidak berbicara tingkat pendidikan mereka, karena sudah jelas kalau tuna ganda tidak bisa sekolah. Fokus perhatian adalah bagaimana mereka bertahan hidup itu yang berat. Semoga dukungan dan bantuan yang saya berikan memberi secercah harapan bagi mereka, bahwa ada yang peduli, dan saya juga semangat untuk terus melakukan pelayanan," kata lulusan strata 2 psikologi Universitas Indonesia (UI) itu.
Awal mula
Pelayanan Dwi Prihandini dimulai di akhir tahun 2015 dengan perjalanan ke Pulau Saparua di Kabupaten Maluku Tengah. Di pulau penghasil rempah-rempah Cengkeh itu, psikolog yang akrab dipanggil Dini ini memberikan pelayanan kepada Ane Latuperissa, seorang anak penyandang disabilitas yang kemudian dijadikan anak asuhnya hingga saat ini.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan meluncurkan CCI di awal tahun 2016. CCI merupakan lembaga nirlaba dan mandiri yang tidak menerima atau memungut bayaran dalam setiap pelayanan bagi penyandang disabiitas, anak dan perempuan marjinal di Maluku.
CCI juga tidak memiliki rekening atau membuka donasi, tetapi menggunakan dana pribadi Dwi Prihandini untuk melakukan pelayanan sebagai bukti kasih dan sayang untuk Maluku.
Dalam perjalanannya, perempuan yang memiliki hobi petualang ini merasakan dilema karena CCI tidak membuka rekening dan donasi, agar tidak ada oknum yang mengatakan dirinya mencari uang dari kesusahan orang Maluku.
"Saya tidak ingin ada oknum yang menyatakan yayasan kan banyak uangnya. Padahal saya menggunakan uang pribadi untuk pelayanan CCI. Yayasan juga tidak memiliki rekening," katanya.
Ia merasakan sebuah perjuangan berat saat mengawali misi kemanusiaan di Maluku, karena harus menjual aset pribadi seperti apartemen dan lainnya. Tetapi ia bersyukur semua misi kemanusiaan yang dilakukan dilancarkan dan terus bergerak sampai saat ini.
"Pelayanan CCI adalah simbol kecintaan saya kepada almarhum suami saya Clerry Clefy Mailuhu, sehingga semua pelayanan di Maluku itu dari uang saya pribadi," katanya.
Dwi yang juga konsultan psikologi itu lebih memfokuskan pelayanan kemanusiaan ke pulau-pulau terluar di Provinsi Maluku, yakni ke kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru.
Tiga wilayah terluar ini menjadi prioritasnya, terutama bertemu satu per satu penyandang disabilitas dan kaum marjinal, demi melihat langsung kondisi mereka terutama di masa pandemi COVID-19.
Perjalanan ke pulau terluar di MBD dimulai dari Tiakur dilanjutkan menyeberang ke Pulau Leti menggunakan "speed boat", sambil menunggu jadwal kapal perintis ke Pulau Lakor, Luang, Sermata, Tepa hingga ke Pulau Kroing.
Perjalanan ke pulau-pulau ini ditempuh menggunakan kapal maupun sepeda motor dengan waktu tempuh hingga lebih dari empat jam. Kondisi alam yang kurang bersahabat yakni gelombang dan angin, jalan belum beraspal hingga tidak ada penerangan jalan, semuanya harus dialami Dwi bersama tim kemanusiaannya.
"Saya menyusuri Pulau Babar Timur ke Babar Barat menggunakan sepeda motor, dibonceng salah satu warga yang menjadi penghubung bagi Kepala Desa di Pulau Babar Barat dan Timur, untuk menyerahkan santunan bagi warga," katanya.
Perjalanan ke Kabupaten MBD bukanlah yang pertama baginya, tetapi kunjungan ketiga, setelah sebelumnya di tahun 2020 mengunjungi kaum disabilitas dan marjinal.
"Kunjungan pertama dan kedua belum semasif sekarang, karena tidak banyak yang dijumpai. kalau tidak salah baru sekitar 20 orang. Kedatangan ketiga ini saya berkoordinasi dengan salah satu koresponden di pulau Babar ternyata disana banyak anak disabilitas yang belum dilayani," katanya.
Dwi juga menyatakan komitmennya mendatangi langsung seluruh pulau terluar di Maluku. DI Maluku terdapat 18 pulau terluar dari total 111 pulau terluar yang dimiliki Indonesia.
"Saya sudah mendatangi lima pulau, sisanya saya akan datangi semuanya mau ada orang atau tidak saya akan datang. Ini kepuasan saya secara pribadi, saya bangga keliling Maluku karena memberikan kepuasan tersendiri bagi saya," katanya.
Dikira orang parpol
Dwi Prihandini lantas menceritakan kisah kunjungannya ke sejumlah desa di Provinsi Maluku. Kenyataan kehadirannya sering dikira sedang bermanuver mencari dukungan suara untuk mencalonkan diri sebagai anggota partai politik (parpol).
Banyak juga di antara warga yang menganggap dirinya bersama tim CCI sebagai bagian dari pemerintahan yang datang untuk membagi-bagi bantuan, atau sekedar janji-janji manis.
Tidak hanya masyarakat, tetapi banyak kepala desa yang bersikap apatis, tidak koperatif untuk memberikan data, karena beranggapan data tersebut akan digunakan untuk pencalonan diri sebagai anggota parpol yang ingin mendulang suara, atau pihak pemerintahan yang datang mengumbar janji janji kosong.
"Pertanyaan yang kerap saya dengar yakni ibu ada mau mencalonkan dirikah di Jakarta? Saya bilang beta (saya) ini tidak ikut partai dan tidak tertarik politik, karena itu saya selalu sampaikan supaya masyarakat tau bahwa jangan samakan saya dengan yang lain, agenda saya di Maluku hanya mau cari laki-laki Maluku yang tulus, jujur dan menerima saya apa adanya," katanya.
Ia mengisahkan pernah ditolak seorang bapak yang bersikap apatis dan tidak bersedia menerima bantuan yang akan diberikan.
"'Ibu seng usah datang lai beta seng mau bantuan' (ibu tidak perlu datang lagi karena saya tidak mau menerima bantuan)," kata Dwi mengutip pernyataan bapak tersebut. Namun setelah disampaikan maksud dan tujuan kedatangan barulah sang bapak minta maaf dan bersedia menerima bantuan yang diberikan.
"Tantangannya adalah bagaimana meyakinkan masyarakat dipelosok bahwa ada pribadi yang mau melakukan misi sosial, bukan dari parpol atau pemerintah, tetapi murni karena rasa cinta saya untuk Maluku. Jadi berat sekali sebenarnya. Semakin saya keliling Maluku semakin banyak kaum ditemukan perempuan marjinal dan penyandang disabilitas yang belum tersentuh perhatian pemerintah," katanya.
Dia memandang dibalik sikap penolakan, akan ada penerimaan yang tulus dan rasa haru warga setelah mengetahui dirinya bukan orang Maluku, tetapi membangun kecintaannya akan Maluku hanya karena dilatari menikah dengan suami orang Maluku.
Selama perjalanan mengelilingi kampung-kampung di Maluku Dwi dikenal sebagai pribadi yang tegas, termasuk sering "ngomelin" relawan maupun warga yang menurutnya perlu diedukasi dalam memberikan data terkait disabilitas.
Hidup adalah kesempatan
Bagi perempuan berdarah Madura, Jawa Timur itu, berbagi dengan sesama yang membutuhkan adalah kesempatan yang tidak tergantikan oleh apapun. Berbagi dengan sesama merupakan bentuk mensyukuri kemurahan Tuhan akan hidup.
"Tuhan sudah kasih rezeki bagi saya masa saya tidak beryukur?. Hidup ini adalah kesempatan jika satu saat daya saya sudah habis, saya bisa bilang saya pernah mencintai Maluku bukan dengan biasa-biasa saja, tetapi dengan cara yang luar biasa," kata ibu satu anak itu.
Kesempatan untuk melakukan pelayanan kemanusiaan, kata Dini, juga mendapat dorongan yang kuat dari dari kedua orang tua serta anak semata wayangnya.
"Awalnya orang tua saya tidak setuju, karena bagi mereka buat apa melayani jauh-jauh di negeri orang, sedangkan di kampung kamu sendiri tidak?. Saya sampaikan Indonesia itu luas, mencintai Indonesia sama dengan mencintai Maluku, akhirnya mereka menyetujui pelayanan yang dilakukan di Maluku," katanya.
Dini bahkan menyatakan harus berterima kasih kepada anak semata wayangnya karena tidak pernah menanyakan berapa uang atau kekayaan yang dihabiskan untuk misi sosial di Maluku itu.
"Anak saya tidak pernah melarang, jadi saya harus berterima kasih kepadanya, karena jika dia tidak izinkan, maka saya tidak bisa lakukan misi kemanusiaan ini. Saya cukup tahu diri sebagai orang tua ada kewajiban dan tanggung jawab untuk anak yang utama, jadi saat diizinkan saya sangat bersyukur," katanya,
Sejak memulai misi kemanusiaan tahun 2016 hingga akhir September 2021 tercatat sebanyak 481 penyandang disabilitas dan kaum marjinal yang telah mendapatkan bantuan dan pendampingi CCI.
Bantuan yang diberikan di antaranya berupa kursi roda 84 buah, tongkat bantu jalan 30 buah, modal usaha untuk 99 orang disabilitas dan 36 perempuan marjinal, santunan atau tanda kasih kepada 435 orang disabilitas/marjinal, santunan kematian bagi 29 warga terdampak gempa, bantuan 26 HP untuk belajar daring anak-anak kaum marjinal, 142 buah sepeda untuk anak marjinal dan 150 beasiswa bagi anak marjinal.
"Jika dikalkulasi sudah lebih dari Rp4,2 miliar yang dikucurkan untuk membantu kaum disabilitas dan marjinal di Maluku. Jadi soal berapa besar uang yang dihabiskan, tetapi misi kemanusiaan ini harus terus berlanjut sepanjang hayat dikandung badan, sekaligus mewujudkan kecintaan saya akan Maluku," kata Dwi Prihandini.
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021