Semarang (ANTARA News) - Selama tiga pekan terakhir ada yang berubah di meja makan keluarga Kamari karena tidak ada lagi sambal yang melengkapi makan siang dan malam warga Meteseh, Tembalang, Kota Semarang, Jateng ini.

Sejak harga cabai melambung hingga Rp80.000/kilogram, sambal seolah menjadi menu mewah bagi kebanyakan rakyat kecil seperti Kamari, buruh bangunan itu.

Betapa tidak, dengan penghasilan sebagai buruh bangunan Rp40.000/hari, ia harus memutar otak agar ketiga anaknya yang masih menjadi tanggungannya bisa tetap makan tiga kali sehari.

Selain tahu dan tempe yang menjadi lauk harian, sambal merupakan teman wajib setiap makan siang. Namun, sejak harga cabai melampaui harga daging sapi, istrinya mencoret daftar belanja cabai.

Bagi kebanyakan orang kecil, makan cabai pada hari-hari ini seolah kemewahan mengingat harganya yang sudah tidak masuk akal lagi. Dalam kondisi normal, harga sayuran berasa pedas ini hanya berkisar Rp15.000-Rp20.000/kg, namun saat ini untuk bisa memdapatkan tiga cabai saja harus merogoh Rp1.000.

Tidak mengherankan bila saat ini penjual tahu dan tempe goreng di pinggir jalan memilih rela diprotes pembeli karena tidak menyertakan cabai.

"Kalau beli 10 tahu atau tempe goreng seharga Rp7.000, lantas saya beri cabai, saya bisa untung dari mana?" kata Supriono, penjual makanan gorengan di pinggir Jalan Kedungmundu.

Supriono sadar bahwa tahu petis, tahu isi, atau tempe mendoan hanya pas bila disantap berbarengan dengan menceplus cabai rawit. Untungnya semua orang sadar kalau harga cabai saat ini memang tidak ramah kepada penyuka rasa pedas.

Rasa pedas cabai tampaknya memang tidak bisa digantikan oleh sayuran atau rempah lain. Oleh karena itu, meski harganya selangit, bagi sebagian pedagang atau warga penggemar rasa pedas, mereka tetap membeli.

Pemilik Warung Makan Welut di Jalan Kiai Saleh Semarang, misalnya, tidak mengurangi rasa superpedas pada masakan mangutnya, meskipun kenaikan harga cabai rawit sudah keterlaluan. Mangut merupakan sayur berkuah santan dengan lauk ikan pari, belut, atau ikan laut lain yang diasap-asap atau dibakar.

Pedagang itu, Yanti, khawatir pengurangan cabai bakal menurunkan cita rasa menu mangut yang menjadi andalannya. "Lebih baik keuntungan berkurang daripada kehilanggan pelanggan," katanya.

Setiap hari ia mengaku menghabiskan lima kilogram cabai rawit, yang disebutnya lombok "setan". Ini belum termasuk cabai jenis lainnya. Jadi, untuk menebus lima kilogram cabai "setan" saja, ia harus merogoh lebih dari Rp400.000 setiap hari.

Yanti tidak tahu sampai kapan harga cabai kembali normal, namun sampai saat ini tidak ada niat dia untuk mengurangi rasa pedas masakan mangutnya. "Memang berat, namun kami harus beli cabai meskipun sangat mahal," katanya.

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krishnamurti mengatakan, pada Desember 2010, produksi cabai di sejumlah sentra cabai, termasuk Sragen, Jawa Tengah, turun hingga 30 persen akibat serangan hama patek dan hujan deras yang merusak bunga tanaman ini.

Musim hujan yang masih berlanjut hingga akhir Maret 2011 dikhawatirkan menyebabkan pasokan cabai di pasaran seret sehingga harga cabai yang saat ini mendekati Rp100.000/kg bakal sulit turun ke harga normal dalam waktu dekat.

Digerus Inflasi

Beban yang harus ditanggung rakyat kecil belakangan ini sebenarnya sudah semakin berat, sebab hampir semua harga kebutuhan pokok melonjak. Harga beras mutu sedang saja sekarang sudah menyentuh Rp7.400/kg, padahal tahun lalu masih di bawah Rp6.000/kg.

Beban berat itu juga tercermin dari Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan sepanjang 2010 inflasi menembus 6,96 persen, sebagian besar (2,81 persen) disumbangkan oleh kenaikan harga bahan makanan.

Nilai tukar petani pada Desember 2010 juga merosot 0,13 persen dibanding bulan sebelumnya, meskipun ada kenaikan harga gabah di petani 6,53 persen.

Data tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga gabah di petani dan sedikit kenaikan upah minimum buruh, tidak mampu mengimbangi kenaikan harga barang sehingga memukul daya beli mereka.

Terus melambungnya harga cabai dan sembako semakin menguras penghasilan mereka yang tidak mengalami kenaikan pendapatan riil akibat digerus inflasi tinggi.

Padahal, dalam waktu sama berbagai indikator makroekonomi sepanjang 2010 menunjukkan pertumbuhan menggembirakan, termasuk proyeksi laba 2010 sejumlah perusahaan besar di Tanah Air.

Namun, pertumbuhan ekonomi itu seolah tidak memiliki makna bagi rakyat kecil karena mau membeli cabai saja tidak bisa.

(A030/H-KWR/S026)

Oleh Achmad Zaenal M
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011