Jakarta (ANTARA News) - Gelontoran erupsi dugaan seputar fenomena alam Halo di langit Yogyakarta mengusik rasa ingin tahu publik dengan mengajukan pertanyaan menyelidik: adakah musibah bakal menerpa Nusantara?
Alunannya bak menanti tiba tangga nada dari harmoni musik langit. Mitos orang Jawa menjawab, kalau ada "kluwung" - begitu nenek moyang menyebut fenomena Gerhana Matahari Cincin - maka saatnya tiba menyongsong aneka nestapa, dari bencana alam sampai pertumpahan darah alias "pegebluk".
Kluwung tiba, kelak bersua dengan pagebluk. Benarkah?
Cuap-cuap soal fenomena matahari dikelilingi lingkaran mirip pelangi selama 30 menit sekitar pukul 11.00 WIB pada Selasa (4/1) meneror opini mereka yang selama ini berumah di atas angin.
"Halo matahari, fenomena yang biasa terjadi. Dan bukan pertanda akan terjadi bencana alam," kata peneliti Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sudibyakto.
Siang itu, Yogyakarta sedang tebar senyum sejarah merayakan resepsi Republik Yogya. Aneka hidangan tersaji, dari buah pikir sampai buah aksi turun jalan, agar terpateri restu Sang Hyang Widhi bagi kemerdekaan hati dan kebeningan nurani. Mencari air sendang kesejukan di tengah gersang ziarah hidup seputar monarki atau tidak-monarki.
Sang Ilmiah pun bertalu bak gending bersahut-sahutan menghiasi kosmos keselarasan. "Ini adalah peristiwa alam biasa, seperti pelangi, hanya saja terjadi di sekitar matahari yang berbentuk seperti cincin," kata Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY Toni Agus Wijaya.
Dua sosok ingin menggeledah fenomena alam halo matahari setuntas-tuntasnya. Keduanya bertengger di menara gading kemudian bersetuju bahwa fenomena alam halo bukan mara bahaya, bukan pagebluk.
Fenomena itu sama dengan proses terbentuknya pelangi pada pagi atau sore setelah hujan. Lengkungan pelangi kerap terlihat di bagian bawah cakrawala karena partikel uap air yang membelokkan cahaya matahari berkumpul di bagian bawah atmosfer.
Ingin terlahir dari rahim optimisme, sang ilmuwan memilih untuk mengatasi keresahan, kepengapan, keprihatinan dan ketidakmenentuan situasi hidup publik setempat. Meminjam istilah filsuf Jean Paul Sartre, publik Yogya ingin melepaskan diri dari cengkeraman belenggu krisis hidup atau nausea. Nausea adalah kenyataan sejati keberadaan manusia.
Apakah fenomena halo justru melambangkan datangnya nausea? Jawabnya, publik Yogya punya kearifannya sendiri. Publik bukan tokoh Sisyphus yang mengangkat setiap kali batu besar ke puncak bukit, namun tiap kali sampai ke puncak, batu bulat itu menggelinding lagi, sehingga tokoh mitos Yunani ini harus menaikkannya lagi. Batu itu kembali bergulir ke bawah. Getir.
Meskipun berasa sia-sia tanpa arti, publik masih dapat menyerap energi sejarah dengan tidak ingin berserah kepada rasa gundah. Mereka boleh berbangga bahwa selama empat tahun, dari 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, ibu kota Republik Indonesia (RI) berada di Yogyakarta. Kebanggaan menjadi warga Yogya untuk memupus kegetiran hidup.
"Atas inisiatif Sultan Hamengku Buwono IX, ibu kota RI pun berpindah ke Yogyakarta, yang infrastruktur dan elite bangsawan sudah lengkap. Bagaimana seandainya ibu kota republik yang masih muda tidak dipindahkan ke Yogyakarta. Hasilnya tentu akan lain," kata Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Suhartono sebagaimana dikutip dari Kompas.Com.
Ingin menjawab nausea publik Yogya dan ingin membingkai fenomena halo, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengukuhkan Yogyakarta sebagai Kota Republik.
"Harapan saya, mari kita dukung bersama setiap tanggal 4 Januari sebagai kekuatan untuk membangun kebersamaan untuk berkontribusi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Sultan di hadapan sekitar 1.000 warga Yogyakarta di Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Ya, kegundahan Nausea direspons dengan kebersamaan. Inilah energi khas Yogya menjawab fenomena halo bahwa alam semesta terlalu sederhana bila hanya diterangkan apalagi direspons sebagai peristiwa yang didalamnya berlangsung fakta yang semata bersifat kebetulan.
Yang tidak kelihatan selalu sudah ada sejak awal dan masih ada di belakang yang kelihatan. Masih ingin berperan sebagai Sisyphus?
Sebagai fenomena alam, fenomena halo ditafsir sebagai ketidakharmonisan yang akan menimbulkan bencana, musibah, pagebluk. Dan manusia kehilangan kemanusiaannya (manungsa kelangan kamanungsane), tidak berpikir positif, apalagi berperasaan positif, menurut ramalan Jongko Joyoboyo mengenai jaman kalabendhu (kehancuran).
Selain menghidupi kebersamaan dan merayakan kedamaian, pemahaman kosmis manusia Jawa menganggap bahwa alam semesta sebagai wajah dirinya, lukisan perjalanan hidupnya.
Manusia Jawa mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya, berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap kalau mampu mendamaikan kekuatan itu, maka hidupnya akan terbantu oleh alam semesta.
Akankah fenomena alam halo mengintroduksi jaman kalabendu di tengah orkestra alam semesta? Ada baiknya mengandalkan "rasa" untuk membunyikan lonceng hatinurani. Dan Joyoboyo berujar bak bunyi gong di tengah keagungan musik jiwa manusia Jawa.
Menurut Joyoboyo, iki sing dadi tandane zaman kalabendu (Ini yang menjadi tandanya jaman kalabendu): lindu ping pitu sedina (getaran gempa 7 kali sehari), lemah Lemah bengkah (tanah tanah pecah), manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara (manusia pada gemuruh (berteriak), banyak yang terkena penyakit), pagebluk rupa-rupa (musibah bermacam macam), mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati (cuma sedikit yang sembuh kebanyakan pada mati).
Dan jawaban bagi Joyoboyo versus fenomena alam halo, yakni bersegeralah berpaling kepada Sang Arsitek kosmos, Sang Arsitek alam semesta. Bukankah keindahan dalam kebersamaan justru bersumber dari Yang Ilahi, kata Sisyphus berserah diri.
(A024/ART)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011