Jakarta (ANTARA News) - Kasus dugaan perkosaan terhadap pembantu rumah tangga asal Indonesia oleh seorang menteri Malaysia pada 2007 menurut Migrant Care memang ada namun LSM itu membantah telah mempublikasikan investigasi yang mereka dilakukan.
"Kami agak terkejut pada tahun lalu Wikileaks mengungkap kasus perkosaan itu dan ternyata sumbernya dari Migrant Care," kata Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat. "Migrant Care tidak pernah mempublikasikan hasil investigasi ini," ujarnya.
Migrant Care menurut Anis hanya menyerahkan hasil investigasi mereka ke Mabes Polri dan KBRI Kuala lumpur.
Menurut Anis, kasus tersebut dia harap akan menjadi pelajaran kepada dua negara untuk berupaya lebih serius menyelesaikan masalah-masalah serupa. Anis mengatakan pemerintah sering mengabaikan laporan soal kesewenang-wenangan yang dialami PRT.
Lebih lanjut Anis mengemukakan pihaknya melakukan investigasi itu karena ada laporan yang masuk dan persoalan tersebut merupakan kasus yang dialami oleh PRT (pembantu rumah tangga) dan menjadi tugas LSM tersebut untuk menanganinya.
Sementara itu, Wahyu Susilo, policy analist dari Migrant Care dalam kesempatan itu mengatakan bahwa pihaknya menghormati permintaan korban yang tak menginginkan kasusnya di proses secara hukum.
Menurut dia, pada tahun 2007 di Indonesia belum ada lembaga perlindungan saksi dan korban sehingga pada waktu itu pihaknya melapor ke pihak Mabes polri guna meminta perlindungan dalam kasus tersebut.
Ia menjelaskan bahwa Migrant Care pernah menangani kasus perkosaan serupa pada tahun 2002 dan 2003. Tersangka pelaku juga orang penting di Malaysia. Migrant Care juga pernah menangani kasus PRT ilegal yang terjun dari apartemen. Majikannya adalah pegawai Imigrasi Malaysia.
"Bagaimana mungkin seorang pegawai imigrasi mempekerjakan PRT ilegal tanpa dokumen," ujarnya.
Menurut Wahyu berlarut-larutnya persoalan buruh migran adalah karena kecacatan persoalan MoU (nota kesepahaman) yang tidak tuntas dan harus direvisi. "Masalah yang di alami antara lain paspor dipegang majikan, tidak ada hari libur bagi buruh migran, dan PRT dilarang berorganisasi. MoU yang berlangsung sekarang bukan pelindung tetapi Jebakan,"ujar Wahyu.
Dia mengemukakan, upah untuk hidup layak PRT di Malaysia adalah sekitar 1200 ringgit Malaysia namun kenyataannya PRT hanya memperoleh setengahnya. "Kondisi ini sangat berbeda dengan buruh migran asal Filiphina yang diupah sebesar 1500 ringgit Malaysia karena MoU-nya jelas sehingga hak hak tenaga kerjanya terpenuhi," kata Wahyu.
Peristiwa pemerkosaan yang terjadi pada tahun 2007 itu dalam sepekan terakhir ini menjadi pembicaraan karena terkuak melalui Wikileaks. Korban yang berinisial RB asal Banjar Negara Jawa tengah menurut Migrant Care telah bekerja selama 8 tahun sebagai PRT kepada majikannya yang menjabat menteri.
(yud/A038/BRT)
Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011