"Yang dapat menerangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau bukan hanya seorang mantan atau yang sedang menjabat sebagai presiden," katanya, di Jakarta, Rabu.
Dalam pembuatan kebijakan Sisminbakum di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut, SBY saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam).
M. Jusuf Kalla, selaku mantan Menko Kesejahteraan Rakyat (Kesra), dan Kwik Kian Gie selaku mantan Menko Perekonomian saat kebijakan Sisminbakum awal disusun kemudian dilaksanakan sudah menjalani pemeriksaan sebagai saksi meringankan untuk Yusril.
Yusril mengatakan, tidak semua hal dapat diterangkan oleh Kalla dan Kwik, terutama dalam soal Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dasar permintaannya kepada SBY untuk dapat menjadi saksi meringankan, kata Yusril, karena Presiden SBY pernah empat kali mengubah Peraturan Pemerintah (PP) soal PNBP dari 2005 sampai 2007.
"Tiga PP ini tidak memasukkan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP. Baru pada tahun 2009, SBY menerbitkan PP yang memasukkan biaya akses itu sebagai PNBP, setelah seluruh peralatan Sisminbakum milik Koperasi dan PT SRD disita oleh Kejagung, dan kemudian dititipkan kepada Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
Oleh karena menyangkut PNBP, kata dia, SBY harus menerangkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung), apakah sebelum 2009 biaya akses Sisminbakum adalah PNBP atau bukan.
"Kalau memang bukan PNBP, maka keterangan itu akan sama dengan pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam kasasi perkara Romli Atmasasmita, yang menyatakan biaya akses Sisminbakum bukanlah PNBP," katanya.
Dengan demikian, ia menilai, menurut Mahkamah Agung, tidak ada unsur kerugian negara dan perbuatan melawan hukum dalam perkara Sisminbakum.
"Kalau demikian, perkara ini wajib dihentikan, dan untuk saya wajib dikeluarkan SP3," katanya.
(T.R021/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011