Jakarta (ANTARA News) - Belakangan ini, dunia disibukkan oleh perang yang senjatanya adalah kebijakan nilai tukar uang dan melibatkan negara-negara yang ekonominya surplus dan defisit. Namanya, perang mata uang (currency war).
Negara-negara seperti AS dan Inggris mengalami defisit menyusul berakhirnya keajaiban buble financial yang ditunjukkan oleh bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan dan menumpuknya utang di kedua negara sehingga impor mereka lebih dari yang ekspornya.
Sedangkan negara surplus seperti Cina, meminjam ke negara-negara lain untuk membiayai ekspor mereka. Hal yang sama kita lihat di Eropa, Jerman yang surplus terpaksa memberikan kontribusi besar kepada Yunani dan kini Irlandia, akibat defisit yang dialami kedua negara ini.
Amerika berusaha membangkitkan kembali kejayaan ekonominya dengan meningkatkan daya saing perdagangan internasionalnya lewat “memperlemah” mata uangnya, yang tentu saja mempengaruhi transaksi perdagangan internasional karena dolar amerika adalah juga mata uang dunia.
Implikasi dari kebijakan ini adalah nilai tukar negara-negara menguat dan melemah. Apabila persoalan ini tidak dikelola dengan baik, maka stabilitas ekonomi dunia terancam, untuk kemudian merembet ke stabilitas politik.
Semakin terintegrasinya sektor perdagangan internasional telah membuat hampir semua negara berlomba meningkatkan volume perdagangan internasionalnya. Akibatmya, di banyak negara termasuk Indonesia, sektor perdagangan menjadi indikator keberhasilan cukup prestise mengingat perannya yang begitu penting dalam menghasilkan devisa suatu negara, untuk kemudian membuat kedaulatan suatu negara semakin utuh.
Dalam perdagangan internasional, faktor yang cukup menentukan adalah nilai tukar mata uang antar negara. Namun sejak krisis moneter tahun 1997/98 di beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Eropa Timur yang diawali oleh jatuhnya nilai mata uang Bath yang kemudian menciptakan efek menular (contangion effect) ke negara-negara di Asia. Ini kemudian memicu perubahan sistem nilai tukar yang dianut banyak negara yang sebelumnya menggunakan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system) atau sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate system) menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system).
Sekarang sangat sulit atau bahkan mustahil untuk mengetahui berapa sesungguhnya jumlah mata uang Amerika yang beredar saat ini. Dari logika awam saja fakta ini sudah menciptakan meneror dunia. Betapa tidak, ketika Amerika hanya perlu menekan tombol printer untuk mendapatkan dolarnya, kita justru harus menjual hasil bumi, sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam yang tak dapat diperbarui, malah masih harus berhutang pula untuk mendapatkan mata uang Amerika tersebut. Faktor seperti inilah yang menghambat perekonomian dunia mencapai keseimbangan secara adil.
Hal seperti ini menarik untuk didalami Indonesia, karena nilai tukar memiliki dampak berbeda terhadap inflasi dan daya saing perdagangan internasional. Seperti kita ketahui bahwa nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing cenderung menguat. Sementara pada sisi lain cadangan devisa Indonesia naik hingga mencapai US$93 miliar, tetapi beban biaya moneter Bank Indonesia pada 2010 diproyeksikan defisit 30 triliun rupiah.
Data menunjukkan, meningkatnya cadangan devisa tidak diikuti oleh meningkatnya peringkat doing business Indonesia yang cenderung stagnan (tahun 2010 peringkat 121 dari 183 negara, peringkat enam di ASEAN di bawah Malaysia yang berperingkat 21, Thailand 19, Brunei peringkat 112 dan Vietnam 78). Ini mengindikasikan bahwa dana asing berupa hot money yang masuk ke Indonesia lebih disebabkan faktor pricing atau tingkat bunga yang tinggi bukan untuk investasi langsung di sektor riil yang berjangka waktu panjang.
Untuk itu, perlu dipertanyakan dampak peningkatan cadangan devisa terhadap sektor riil. Jangan sampai kenaikan devisa ini hanya menciptakan bubble economy yang pada akhirnya malah menghancurkan perekonomian. Demikian juga pertumbuhan ekonomi yang selama ini ditopang sektor-sektor konsumsi juga harus diwaspadai mengingat krisis global yang baru saja lewat juga diawali dari sektor konsumsi di Amerika.
Jika pengelolaan dana asing ini tidak dikelola dengan baik dan tidak memberikan manfaat besar kepada sektor riil, maka itu hanya memberikan kerugian ganda bagi Indonesia yakni tingkat pengembalian yang tinggi dan biaya moneter yang tinggi untuk meredam laju apresiasi rupiah guna menjaga daya saing ekspor.
Untuk menghadapi rezim devisa yang semakin bebas dan mobilitas modal yang semakin tidak terbatas, otoritas moneter dan fiskal harus bekerjasama agar dana asing yang masuk ke Indonesia dikelola dengan baik serta menyumbang sektor perekonomian, khususnya sektor riil. Kedua otoritas tersebut mesti mengubah hot money yang masuk ke Indonesia menjadi dana yang produktif bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
Di level global, otoritas fiskal dan moneter hendaknya tidak terjebak dalam perang mata uang, tetapi tetap mengantisipasi kemungkinan tersebut, sambil mendorong otoritas internasional untuk membuat aturan yang tegas dalam hal penetapan nilai tukar sehingga interaksi ekonomi antarnegara semakin berkeadilan bagi seluruh negara.
Inilah momentum tepat untuk mengembalikan haluan kebijakan ekonomi kita agar sesuai dengan semangat amanat pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Lagi pula, sistem ekonomi yang berbasis aktivitas dan kebudayaan masyarakat ternyata memiliki ketahanan lebih unggul dibandingkan bubble economy. Itulah ekonomi kerakyatan, ekonomi pancasila yang basisnya konstitusi kita.
(*) Dr. Arif Budimanta adalah anggota DPR RI Komisi Keuangan Perbankan dari FPDI Perjuangan dan anggota Kaukus Ekonomi Konstitusi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011