Pekanbaru (ANTARA News) - Sekretaris Fraksi Demokrasi Kebangsaan Raya DPRD Pekanbaru, Dasrianto menilai administrasi pembayaran Pajak Penerangan Jalan (PPJ) berbelit-belit.
Pembayaran PPJ sebesar 6 persen dari tagihan masyarakat tersebut dibayarkan kepada PLN, namun anehnya PLN mengembalikannya kepada Pemko Pekanbaru dan baru kembali lagi kepada PLN.
"Ini jelas administrasi yang berbelit-belit. Kenapa PLN harus menyerahkan kepada pemko kembali dana masyarakat yang sudah dipotong dalam setiap transaksi pembayaran rekening listrik?," ujarny di Pekanbaru.
Dasrianto mengatakan, setelah PLN memotong PPJ seharusnya tidak perlu lagi dikembalikan kepada Pemko.
Dasrianto menilai administrasi yang berbelit-belit ini mengakibatkan ada dugaan permainan antara PLN dan Pemko sehingga Pemko dan PLN mesti diaudit.
Dasrianto menegaskan akan memanggil PLN dan Dispenda selaku perpanjangan tangan dari Pemko Pekanbaru agar tidak terjadi kekeliruan pada masyarakat.
"Seharusnya dalam hal ini pemko harus melakukan tukar pikiran dengan DPRD terkait PPJ yang saat ini menjadi beban dari APBD Pemko. Saya juga mengeluhkan kinerja dari PLN yang selama ini dianggap kurang maksimal," katanya.
Dia menambahkan, banyak masyarakat mengeluhkan lonjakan tagihan rekening mereka yang bisa mencapai dua kali lipat, sedangkan pemakaiannya tetap.
Mengomentari soal ini, Kepala Cabang PLN Pekanbaru, Ilham Santoso mengatakan, sesuai Perda Kota Pekanbaru pelanggan PLN dikenakan PPJ sebesar 6 persen, dari keseluruhan tagihan pelanggan.
Kemudian pembayaran dari pelanggan disetorkan kembali ke Pemko dan setelah terkumpul baru Pemko membayarkan ke PLN kembali.
Dari dana PPJ yang di terima PLN dari masyarakat akan di bayarkan PLN setiap bulannya kepada Pemko. Setiap bulan dana PPJ yang disetorkan ke Pemko senilai Rp3,6 hingga Rp3,8 miliar.
"Namun yang harus dibayarkan Pemko kembali ke PLN melebihi dari yang kita setorkan kerena naiknya tarif dasar listrik (TDL) menyebabkan tagihan lampu jalan meningkat," ujarnya.(*)
KR-IND/E010/AR09
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011