Makassar (ANTARA) - Pakar lingkungan yang juga mantan Menteri Lingkungan Hidup pada era Orde Baru Prof Dr Emil Salim mengatakan, saat ini diperlukan generasi muda yang menguasai sains dan teknologi yang berwawasan lingkungan, sehingga dapat menekan laju efek gas rumah kaca (GRK) dari emisi karbondioksida.
Hal itu dikemukakan Emil pada Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2020 yang digelar Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Esssential Services Reform (IESR) secara virtual diikuti peserta secara nasional dan luar negeri, Senin.
Dia mengatakan, upaya menekan pemanasan global sebagai dampak dari perubahan iklim ini untuk kepentingan generasi muda.
Sebagai gambaran pada 2021 anak yang berusia 15 tahun saat ini, maka pada 2050 akan 40 tahun. Maka jika mulai saat ini tidak berusaha menurunkan emisi karnondioksida untuk menekan efek GRK, maka generasi ke depan akan merasakan akibatnya.
"Yang sekarang ini poltical will dibutuhkan oleh pengambil kebijakan. Selain itu, keinginan mengusahakan agar anak-anak saat ini dipusatkan pada penguasaan sains dan teknologi yang ramah lingkungan untuk menghadapi 2050," katanya.
Baca juga: Pendekatan ekonomi-teknologi digital dukung pelestarian lingkungan
Menurut dia, jika itu tidak tidak serius dilakukan, maka Indonesia dan Ibukota negara akan tenggelam pada 2050 seperti yang diprediksi pakar lingkungan dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut lanjut dia, pemerintah, swasta dan masyarakat semua harus berfokus agar energi yang dihasilkan untuk listrik, transportasi, industri dan perumahan itu aktivitasnya tidak menimbulkan peningkatan produksi karbondioksida.
Pasalnya, produksi karbondiosida Indonesia telah memberikan sumbangan efek GRK dunia sebesar 51 miliar ton. Karena itu, Indonesia bersama negara-negara lain di dunia berkewajiban untuk menghasilkan "net zero emission" pada 2050 sesuai kesepakatan negara-negara dalam G20.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada kesempatan yang sama mengatakan, pihaknya optimistis dapat mencapai hal tersebut, menyusul sudah ada upaya dan langkah-langkah awal yang telah dilakukan.
Baca juga: Huawei dan pakar gelar pertemuan bahas teknologi ramah lingkungan
Termasuk perencanaan jangka menengah dan jangka panjang bersama dengan kementerian terkait lainnya. Juga menyikapi transisi energi ini menuju energi hijau yang ramah lingkungan ke depan.
Kendati diakui, hingga saat ini energi fosil masih 90 persen mendominasi, sementara energi baru dan terbarukan (EBT) masih sekitar 2,6 persen. Namun lambat tapi pasti, EBT kelak akan menjadi energi utama di Indonesia.
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021