sistem peringatan dini yang terbangun dan beroperasi saat ini masih terbatas untuk Peringatan Dini Tsunami Tektonik

Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, pihaknya bersama kementerian/lembaga terkait tengah menyempurnakan dan mengembangkan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS).

Hal ini menjadi krusial karena fenomena tsunami nontektonik yang terjadi beberapa kali di Indonesia akhir-akhir ini, meskipun, berdasarkan pencatatan BMKG, lebih dari 90 persen tsunami diakibatkan oleh fenomena tektonik atau kegempaan.

"Karenanya, sistem peringatan dini yang terbangun dan beroperasi saat ini masih terbatas untuk Peringatan Dini Tsunami Tektonik yang dibangkitkan oleh gempabumi saja" ujar Dwikorita dalam keterangannya di Jakarta, Minggu,

Baca juga: Pacitan rawan tsunami, masyarakat perlu pahami evakuasi mandiri

"Tsunami di Pandeglang, Selat Sunda, Banten yang terjadi tahun 2018 adalah salah satu contoh tsunami non tektonik. Yang terjadi akibat longsor lereng gunung ke laut, yang dipicu erupsi Gunung Api Anak Krakatau, bukan karena gempabumi," lanjutnya.

Terbaru, Dwikorita mengatakan adalah saat terjadinya gempabumi magnitudo 6,1 di Pulau Seram Maluku Tengah, 16 Juni 2021 yang juga mengakibatkan longsor lereng pantai sehingga berdampak tsunami dengan kenaikan muka air laut sekitar 50 cm.

"Umumnya gempabumi dengan magnitudo 6,1 di laut dekat pantai belum mampu membangkitkan tsunami, namun ternyata mampu mengakibatkan longsor pantai ke laut pada lereng pantai dengan bathimetri curam, dan akhirnya memicu tsunami kecil," tambah Dwikorita saat menjadi pembicara dalam Seminar Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI secara virtual baru-baru ini.

Baca juga: BMKG peringatkan Kabupaten Pacitan siapkan skenario terburuk tsunami

Dwikorita mengatakan penyempurnaan dan inovasi yang dilakukan BMKG dalam Sistem Peringatan Dini Tsunami menjadi sebuah keharusan mengingat beberapa wilayah di Indonesia juga memiliki potensi kejadian serupa.

Dwikorita menyebut sejumlah wilayah Indonesia yang berpotensi mengalami tsunami non tektonik antara lain adalah Selat Sunda, Kota Palu Sulawesi Tengah, Pulau Seram Maluku Tengah, juga beberapa titik di Wilayah Indonesia Tengah dan Timur, termasuk Pulau Lembata Nusa Tenggara Timur.

Di wilayah-wilayah tersebut banyak memiliki gunung api laut, palung laut atau patahan darat yang melampar sampai ke laut, sehingga berpotensi mengakibatkan Tsunami Non Tektonik atau Atypical, dengan waktu datang gelombang tsunaminya 2-3 menit (Tsunami Cepat), mendahului berbunyinya sirine Peringatan Dini.

Baca juga: Mensos Risma ikuti simulasi hadapi bencana tsunami di Pantai Pacitan

Sejarah mencatat, bencana alam tsunami non tektonik yang menelan korban jiwa sangat besar pernah terjadi sekitar 8 kali, yaitu Tsunami Gunung Gamkonora (1673), Tsunami Gunung Gamalama (1763), Tsunami Gunung Gamalama (1840), Tsunami Gunung Awu (1856), Tsunami Gunung Ruang (1871), Tsunami G. Krakatau (1883), Tsunami Gunung Rokatenda (1928), dan Tsunami Waiteba NTT akibat longsor tebing pantai (1979).

Dwikorita yang sejak tahun 2019 dipercaya sebagai Chair Intergovernmental Coordination Group Indian OceanTsunami Warning and Mitigation System (ICG IOTWMS), dan bertanggung jawab untuk memimpin Koordinasi Sistem Peringatan Dini dan Mitigasi Tsunami di 28 Negara di sepanjang Pantai Samudra Hindia itu mengatakan, jujur sampai saat ini belum ada negara yang memiliki sistem Peringatan Dini Tsunami non tektonik yang andal, cepat, tepat dan akurat.

Baca juga: BMKG sampaikan rencana aksi hadapi gempa dan tsunami di Maluku

Teknologi dan pemodelan tsunami yang ada kebanyakan berdasarkan perhitungan/analisis terhadap aktivitas tektonik atau kegempaan ( Earthquacke Centris). Hal Ini juga masih menjadi tantangan global. Maka dari itu, BMKG bersama para ahli/pakar, serta akademisi kampus dan perguruan tinggi baik dari dalam dan luar negeri, terus berupaya berpacu dengan waktu untuk mengembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami Non Tektonik, yang berbasis kajian ilmiah dan keilmuan.

“Kami rutin menggelar Focus Group Discussion bersama para ahli dan pakar gempa dan tsunami dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga kajian ilmiah seperti LIPI dan BPPT, juga dengan pakar dari United States Geological Survey (USGS), GFZ Jerman, GNS Science New Zealand ataupun dengan para pakar dari Perguruan Tinggi/Lembaga Riset di Jepang, Australia, India, Inggris dan Amerika. Semoga sistem peringatan dini tsunami non tektonik bisa segera tercipta,” ujar dia.

Baca juga: BMKG beri peringatan 19 provinsi berpotensi terdampak banjir bandang

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021