Jakarta (ANTARA News) - Siapa mengenal Pulau Maratua? Bahkan tidak setiap warga Kalimantan Timur pun pernah mendengar nama pulau itu.
Salah satu pulau terluar Indonesia, yang terletak di Kabupaten Berau itu memang nyaris tidak pernah disebut.
Pulau yang dihuni 3.000 warga Suku Bajao itu, tidak diketahui secara luas oleh masyarakat Indonesia, mungkin karena dianggap tak penting, padahal pulau itu adalah salah satu "beranda" Indonesia.
Pulau berbentuk huruf `U` itu, disebut-sebut menjadi taman impian turis asing dan penyelam, sebab gugusan pulau-pulau kecil di Pulau Maratua, menyimpan berbagai potensi wisata bahari, termasuk keindahan biota laut.
Pulau Maratua dalam masyarakat Bajau --yang mengaku berasal dari Filipina-- disebut sebagai `Malatua` atau Kayu Tuba, sejenis kayu beracun yang biasa digunakan nelayan setempat dalam menangkap ikan.
"Pulau Maratua memiliki pantai dan alam yang cukup indah. Hanya saja sejauh ini belum dikelola secara maksimal," ungkap Camat Maratua, Khudarat.
Di tengah pulau Maratua, terdapat 14 pulau-pulau kecil dan baru dua pulau saja yang sudah dikelola, itupun dikelola oleh perusahaan asing yakni Jerman dan Malaysia. Dua resor yang ada di Pulau Maratua dimiliki PT. Paradise (Malaysia) dan PT. Nabuko, perusahaan asal Jerman.
Keragaman ekosistem bawah laut di Pulau Maratua menjadi salah satu daya tarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
"Keindahan panorama bawah laut di Pulau Maratua yang juga sebagai tempat bertelurnya penyu hijau dan menjadi habitat ikan pari menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Bahkan, banyak wisatawan yang datang hanya untuk melakukan penyelaman, sekedar melihat keragaman terumbu karang tertinggi ketiga di dunia setelah Raja Ampat dan Salamon," kata Khudarat.
Tidak hanya menyimpan keindahan laut dan pantai, Pulau Maratua kata Khudarat juga memiliki keindahan alam yang sangat unik dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Gugusan gunung dan hamparan hutan di sepanjang Pulau Maratua menjadi salah satu sumber penghidupan masyarakat Suku Bajau yang mendiami pulau terluar tersebut.
"Hamparan hutan yang luas menghasilkan kayu yang menjadi salah satu bahan baku pembuatan perahu bagi nelayan. Begit pula dengan perbukitan bebetuan yang ada di Pulau Maratua ini, menjadi salah satu sumber kehidupan yang menghasilkan air tawar bagi masyarakat," ungkap Camat Maratua.
Selama bertahun-tahun kata Khudarat, Maratua seolah menjadi pulau yang terlupakan.
"Pulau Maratua sebelumnya ibarat pulau yang dianaktirikan. Tetapi setelah kasus Ambalat mencuat, pulau ini langsung mendapat perhatian. Lihat saja sendiri, saat ini sudah ada puskesmas, Kantor Polsek dan Koramil," katanya.
"Kalau dulu, warga sangat jarang melihat pesawat, tetapi sekarang pesawat terbang sudah sering melintas di atau Pulau Maratua," ujar Khudarat.
Perampok Filipina
Pada 1980-an, kata Camat Maratua, Khudarat, perampok asal Mindanao, Filipina kerap menjarah bahkan membunuh warga di sekitar Pulau Maratua.
"Pada 1980-an, suasana sangat mencekam sebab para perampok asal Filipina kerap datang dan merampas harta benda masyarakat. Bahkan, salah seorang warga Pulau Maratua sempat dibunuh dan saat ini nama warga itu dijadikan nama jalan di Pulau Maratua," katanya.
"Namun, sejak keberadaan Kantor Polsek dan Koramil, para perampok itu tidak pernah lagi mengganggu masyarakat," ungkap Khudarat.
Kehidupan masyarakat di Pulau Maratua kata Khudarat saat ini sudah jauh lebih baik.
"Warga Pulau Maratua hanya menginginkan perhatian pemerintah agar kehidupan ekonomi mereka bisa lebih baik. Hal yang paling dibutuhkan yakni, bantuan modal usaha baik sebagai nelayan maupun bantuan kepada beberapa warga yang menjalankan aktifitas sebagai pembuat perahu," katanya.
Selama ini, banyak warga di Pulau Maratua yang menjalankan bisinis dengan membuat kapal. Namun, bahan baku kayu yang selama ini banyak di Pulau Maratua yang menjadi bahan dasar pembuatan perahu itu sudah langka, sehingga mereka kesulitan melanjutkan usaha tersebut. Jadi, para pembuat perahu itu berharap ada bantuan dari pemerintah agar aktivitas mereka bisa tetap berjalan," ujar Camat Maratua.
Bagi para pembuat perahu Pulau Maratua, bantuan modal usaha menjadi harapan yang sangat besar. "Sebelum kayu dilarang, kami masih gampang mendapatkan bahan baku untuk membuat perahu," ujarnya.
Satu perahu bisa dikerjakan mereka paling lama tiga bulan, namun sejak kayu sulit didapat, mereka terpaksa memesannya dari luar. Itupun kualitasnya lebih rendah dibanding kayu asal Maratua.
Kelangkaan bahan baku menyebabkan pembuatan perahu itu harus dikerjakan hingga delapan bulan bahkan sampai satu tahun. "Jadi, kami berharap, pemerintah bisa memberikan solusi agar kami tetap bisa menjalankan pekerjaan ini," ungkap Ramli, seorang warga Pulau Maratua.
Warga pulau terluar itu yang umumnya sebagai nelayan yang mengandalkan nasib dari hasil tangkapan ikan juga mengharapkan adanya perhatian khusus pemerintah terkait penangkapan ikan secara ilegal.
"Dulu, sebelum ada nelayan yang menggunakan bom dan racun untuk menangkap ikan, penghasilan kami jauh labih baik. Tapi sekarang, kadang kami harus berebut lokasi dengan para nelayan pembom dan peracun ikan itu, bahkan tidak jarang kami terlibat aksi kerja-kejaran dengan mereka," ungkap Ramli.
Mereka juga berharap pemerintah bisa menertibkan nelayan yang menangkap ikan bom dan racun, sebab selain menjadi salah satu penyebab menurunnya pendapatan kami juga dapat merusak ekosistem laut di sekitar Pulau Maratua yang menjadi kebanggaan kami selama ini.
Wakil Bupati Berau, Muhammad Rivai mengakui, Pulau Maratua memiliki potensi laut dan alam yang dapat menjadi objek wisata bahari di Kaltim.
"Namun, selama ini, keberadaan Pulau Maratua belum dikenal luas masyarakat di Indonesia sehingga kami berharap melalui program Sail Derawan 2013 yang dicanangkan Gubernur Kaltim dapat menjadi pulau terluar itu menjadi salah satu objek wisata yang dapat menarik wisatawan," ungkap Muhammad Rivai.
(A053/T010/A038)
Oleh Amirullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011