Jakarta (ANTARA News) - Pengambilalihan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) setelah pemerintah Indonesia memutuskan mengakhiri kesepahaman utama (master agreement) antara RI dan Konsorsium Pengusaha Alumunium Jepang diperkirakan memerlukan 723 juta dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan Laporan Refleksi Akhir Tahun Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diterima ANTARA News, Sabtu, terkait aspek hukum, maka Kementerian BUMN diperlukannya pembentukan PT Inalum baru melalui peraturan pemerintah (PP) yang disertai dengan perangkat legal lain yang diperlukan.
Sementara itu, Kementerian BUMN menilai, terkait aspek operasional dan teknologi, diperlukan pembahasan lintas pemangku kepentingan mengenai posisi Inalum beserta dengan rencana pengembangannya ke depan.
Pengembangan tersebut khususnya dalam hal untuk mendukung keunggulan kompetitif Indonesia dalam industri berbasis teknologi yang sangat membutuhkan alumunium.
Kementerian BUMN juga mengemukakan bahwa PT Inalum adalah satu-satunya "alumunium smelter" di kawasan Asia Tenggara dengan prospek yang sangat baik.
PT Inalum adalah kerja sama antara RI dan Konsorsium Pengusaha Alumunium Jepang (NAA) sejak 1975, dan berakhir pada tahun 2013 dengan kemungkinan perpanjangan.
Sementara itu, master agreement yang menjadi dasar PT Inalum dinilai memiliki banyak hal yang merugikan Indonesia, antara lain alokasi penjualan diutamakan ke Jepang dan keterbatasan opsi dalam upaya untuk memanfaatkan Inalum dalam mengembangkan industri alumunium nasional dari hulu ke hilir.
Untuk itu, pemerintah telah memutuskan untuk mengakhiri master agreement melalui Surat Meneg BUMN selaku Pemerintah kepada ketua Otorita Asahan No S-655/MBU/2010 tanggal 29 Oktober 2010.
Selanjutnya, pada tahun 2013 diharapkan terealisasi mengakhiri master agreement, dan pengambilalihan Inalum sepenuhnya oleh RI dengan kemungkinan kerja sama dengan investor dalam mekanisme baru yang lebih baik.
(T.M040/S025)/P003)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011