Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat terkait bahaya atas rokok konvensional kian meningkat, sehingga memunculkan keinginan perokok untuk dapat sepenuhnya berhenti atau setidaknya beralih ke cara alternatif yang lebih rendah risiko.

Menurut Direktur Global Forum on Nicotine (GFN), Gerry Stimson, saat ini ada sekitar 98 juta konsumen di seluruh dunia yang telah beralih ke produk tembakau alternatif yang lebih aman dibanding rokok.

"Bahkan di Jepang, penjualan rokok turun sepertiga sejak produk tembakau alternatif datang ke pasar. Produsen sekarang harus memastikan alternatif yang lebih aman terjangkau oleh konsumen di negara-negara LMIC (low and middle-income countries), bukan hanya konsumen di negara-negara berpenghasilan tinggi,” kata Gerry yang juga merupakan profesor di Imperial College London, Inggris seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (16/9).

Melansir laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) bertajuk "No fire, No smoke: The Global State of Tobacco Harm Reduction 2018" pada Jumat, menunjukkan konsumsi produk tembakau alternatif ternyata mampu menekan konsumsi rokok konvensional.

Riset Public Health England (2015) juga memaparkan bahwa produk tembakau alternatif rupanya memiliki risiko 95 persen lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional.

Laporan tersebut mengangkat contoh keberhasilan beberapa negara. Di Jepang pada periode 2017-2019, produk tembakau yang dipanaskan telah berhasil menurunkan angka perokok sebesar 27 persen. Sementara di Swedia penggunaan "snus" juga telah mengurangi jumlah kejadian penyakit berbahaya terkait rokok, dan menjadikannya yang terendah di Uni Eropa.

Penelitian bertajuk "Snus Cessation Patterns- a Long Term Follow Up of Snus Users in Sweden" pada 2020 menyimpulkan bahwa 80 persen responden berhasil berhenti merokok konvensional dengan metode itu. Kemudian di Norwegia, penggunaan snus juga tercatat berhasil menurunkan jumlah perokok sampai 10 persen sejak 2008 sampai 2017. Adapula di Inggris jumlah perokok tercatat mengalami penurunan sampai dengan lima persen sepanjang 2011-2017 berkat peralihan pada rokok elektrik.

Pencapaian itu didukung sikap Pemerintah Inggris yang sangat mendukung hadirnya produk tembakau alternatif, terlebih sejak Departemen Sosial dan Kesehatan Inggris mencanangkan Tobacco Control Plan pada 2017.

Tobacco Control Plan merupakan strategi jangka panjang yang dirancang oleh Pemerintah Inggris untuk mengurangi konsumsi rokok konvensional secara komprehensif. Mulai dari aspek rantai konsumsi, kebijakan fiskal, sampai dengan rehabilitasi.

Salah satu implementasi dari startegi ini adalah pembukaan dua toko vape di rumah sakit oleh National Health Service (NHS). Kebijakan itu dilakukan lantaran produk tembakau alternatif dinilai lebih efektif dalam mengurangi angka perokok dibandingkan perawatan medis.

Baca juga: Berhenti merokok kurangi risiko Wet-AMD yang berujung kebutaan

Langkah progresif yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris ini menunjukkan bahwa Inggirs telah menyadari bahwa produk tembakau alternatif punya potensi besar bagi kesehatan masyarakat. Dan hal ini teebukti karena sudah banyak diterapkan di sejumlah negara. Contoh positif ini juga perlu ditiru negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Namun, sebenarnya bagaimana perjalanan produk tembakau alternatif? Berikut uraian singkatnya:

Simbol bangsawan sekaligus perlawanan

Awalnya, konsumsi tembakau pernah menjadi simbol status sosial bagi bangsawan-bangsawan Eropa pada awal abad 16, berkat upaya Jean Nicot de Villemain, diplomat Kerajaan Prancis di bawah kekaisaran Raja Henry II yang membawa tembakau ke Prancis dari Portugis usai bertugas di sana. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama zat yang terkandung dalam tembakau, yaitu nikotin.

Konsumsi tembakau semakin populer saat Jean Nicot memberikan snuff, tembakau giling yang dikonsumsi melalui rongga hidung, kepada Ratu Catherine de’Medicici, istri Raja Henry II. Ratu Catherine mengaku puas hal itu kemudian menobatkan tembakau sebagai "Queen of Herbs" saat itu.

Dari situlah dimulai ketenaran snuff di kalangan bangsawan Prancis yang kemudian menyebar di kalangan bangsawan Eropa, terutama di daratan Skandinavia seperti Swedia dan Norwegia.

Di Swedia, snuff dimodifikasi dengan cara ditambahkan garam dan sodium karbonat serta diberi perisa. Produk itu dikenal dengan nama snus dan kemudian menjadi salah satu produk tembakau non rokok tertua yang masih eksis sampai dengan hari ini.

Beranjak ke Indonesia, sejarah tembakau nusantara terlihat dari kisah Roro Mendut yang menjadikan rokok sebagai alat untuk menghindari perkawinan paksa dengan Tumenggung Wiraguna, Panglima Perang Mataram, akibat kalah perang.

Penolakan Roro Mendut terhadap pernikahan tersebut membuatnya dijatuhi hukuman berupa keharusan untuk membayar upeti bernilai tinggi. Menyiasati hal itu, ia kemudian berjualan rokok di sekitar wilayah Mataram. Di luar dugaan dagangannya itu laku keras sehingga Roro Mendut sama sekali tidak kesulitan dalam membayar hukuman upeti yang diberlakukan kepada dirinya itu.

Nilai ekonomis

Kisah Roro Mendut juga merepresentasikan nilai ekonomi tinggi yang dimiliki oleh tembakau sejak jaman dulu kala, tidak cuma di Indonesia melainkan juga di seluruh dunia.

Di Amerika, saat terjadi perang sipil 1776, Presiden George Washington sempat menyerukan penggalangan dana perang melalui tembakau, bukan uang.

"Emas Cokelat" alias tembakau ini kemudian menjadi salah satu komoditas global yang berharga sejak Christoper Columbus menemukannya pada abad 15 di Amerika. Tembakau bahkan sempat menjadi alat tukar bernilai tinggi, selayaknya emas dan uang pasa masa itu.

Sampai kini pun, tembakau memiliki nilai komersial tinggi. Hal ini terbukti karena pada tahun 2019 tercatat nilai industri tembakau dunia mencapai 818 miliar dolar AS. Dari nilai tersebut, industri tembakau alternatif melalui produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, snus, dan lainnya berhasil menyumbang lebih dari 35 miliar dolar AS.

Baca juga: Nikotin dan TAR, mana yang lebih berbahaya?
.
Baca juga: Kenali RCC, kanker ginjal yang bisa disebabkan merokok dan obesitas

Baca juga: Benarkah minum susu sebulan bisa bersihkan paru?

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021