Jakarta (ANTARA) - Perpanjangan kebijakan moratorium sawit akan memperkuat komitmen mitigasi perubahan iklim di mana Indonesia akan menurunkan emisi 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional, kata pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya.

“Dengan adanya komitmen iklim tersebut, seharusnya memperkuat perpanjangan moratorium sawit. Ini diperlukan agar ambisi untuk mencapai net zero karbon di sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030 dan agenda Indonesia FOLU 2030 bisa dicapai,” kata Teguh Surya dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Jumat.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi adalah sebesar 17,2 persen hingga 24,5 persen pada 2030 mendatang.

Teguh menambahkan dengan adanya moratorium, sawit Indonesia akan memiliki nilai tambah (produk sawit berkelanjutan) di pasar global dan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan bisa ditahan. Hal itu akan sangat membantu dalam menurunkan laju deforestasi secara signifikan karena ekspansi lahan sawit yang agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi emisi.

Baca juga: Sisa dua hari, perpanjangan kebijakan moratorium sawit masih dinanti

Baca juga: Urgensi perpanjangan dan penguatan moratorium perizinan sawit

Pembuktian komitmen Pemerintah Indonesia untuk melakukan mitigasi perubahan iklim akan membuka peluang strategis untuk perkembangan bisnis sawit berkelanjutan di dunia internasional, lanjutnya.

Selain itu, menurut Teguh, perpanjangan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit akan menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia, mengingat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) tidak mengatur bahwa sawit tidak boleh ekspansi di kawasan hutan.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, moratorium sawit perlu diperpanjang supaya persoalan produktivitas bisa lebih maksimal dan pembagian hasil bagian perimbangan antara pusat dan daerah bisa lebih jelas dan tuntas.

Pemerintah perlu membuat semacam formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. Studi yang mereka lakukan, menurut Nadia, menemukan penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal menyentuh sasaran, sehingga tidak bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani sawit.

Selain itu perlu ada perbaikan formula penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sehingga lebih adil untuk kesejahteraan petani dan tidak hanya menguntungkan pengusaha, ujar Nadia.

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan moratorium sawit akan berakhir pada 19 September 2021.*

Baca juga: Pemerintah masih telaah terkait moratorium sawit

Baca juga: Koalisi kelompok sipil harapkan perpanjangan moratorium izin sawit

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021