Jakarta (ANTARA News) - Sidang sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) telah mendominasi perkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) selama 2010.
Kepala Bagian Administrasi Perkara MK, Muhidin, di Jakarta, Selasa, mengatakan selama tahun ini sengketa Pilkada yang teregistrasi di MK sebanyak 230 perkara, sedangkan Pengujian Undang-Undang (PUU) 120 perkara dan Sengketa Kewenangan Lembaga negara (SKLN) hanya dua perkara.
"Dari 230 perkara tersebut, sebanyak 215 perkara sudah diputus, enam masih dalam pemeriksaan dan sembilan perkara menunggu putusan," kata Muhidin.
Dia juga mengatakan bahwa MK hanya mengabulkan 23 permohonan yang diajukan, sedangkan 145 perkara ditolak dan 43 tidak dapat diterima.
Sedangkan untuk PUU sebanyak 120 perkara ini merupakan sisa perkara 2009 sebanyak 39 PUU dan 81 PUU didaftar pada tahun ini.
"Untuk PUU, MK baru memutus 58 perkara, sehingga ,masih menyisakan 61 perkara pada tahun ini," ungkapnya.
Muhidin juga menguraikan bahwa 58 perkara ini sebanyak 16 PUU dikabulkan oleh MK, sedangkan 22 PUU ditolak, 16 PUU tidak diterima dan empat perkara ditarik kembali oleh pemohonnya.
"Sementara dua SKLN yang terdaftar di MK masih belum diputus dan sidangnya masih berjalan," tambahnya.
Muhidin mengungkapkan mendominasinya sengketa Pilkada di MK ini disebabkan 74,01 persen dari 227 pilkada diseluruh kabupaten atau kota serta provinsi di diajukan ke MK.
"Hanya 58 Pilkada (25.55 persen) yang tidak ada sengketa di MK," kata Muhidin.
Dia mengungkapkan dari 168 pilkada yang masuk sengketa ke MK, jumlah permohonannya mencapai 260 pemohon, yang 230 sudah diregistrasi, 22 tidak diregistrasi dam delapan permohonan masih dalam proses registrasi.
Muhidin mengungkapkan banyaknya permohonan ini karena setiap sengketa pilkada dari satu daerah dapat diajukan oleh beberapa pemohon dan pilkada yang berjalan dua putaran.
Dari berbagai sengketa pilkada, lanjut Muhidin, yang menarik perhatian masyarakat adalah sengketa Pilkada Kota Waringin Barat, Bengkulu Selatan dan Kota Jayapura.
Muhidin menjelaskan bahwa untuk Waringin Barat, maka MK telah melakukan diskualifikasi pasangan calon bupati dan wakil bupati, Sugianto dan Eko Soemarno, karena terbukti melakukan politik uang, intimidasi dan teror secara terstruktur dan terencana.
Dengan putusan tersebut MK langsung memerintahkan KPU Kobar menetapkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai bupati dan wakil bupati terpilih.
Putusan yang dibacakan pada Juli 2010 ini hingga akhir tahun ini KPU Kota Waringin Barat belum melaksanakan perintah MK.
Sedangkan Bengkulu Selatan MK juga melakukan diskualifikasi calon Bupati Dirwan Mahmud karena terbukti mantan narapidana sedangkan Kota Jayapura MK mengubah "legal standing" (kedudukan hukum) bagi bakal calon yang dicoret oleh KPU.
Fitnah
Ketua MK Mahfud MD mengatakan banyaknya sengketa Pilkada yang tanganinya membuat MK menerima banyak fitnah.
"Kasus sengketa Pilkada telah membuat hakim MK mendapat fitnah disuap," kata Mahfud, saat acara koordinasi dengan Komisi III DPR di MK pada awal Desember 2010 ini.
Hal ini diungkapkan Mahfud terkait laporan hasil Tim Investigasi pimpinan Refly Harun adanya percobaan suap oleh Bupati Simalungun JR Saragih kepada Hakim Konstitusi Akil Mochtar yang saat ini sudah ditangani oleh KPK.
Dengan banyaknya fitnah dan tuduhan yang ditujukan ke MK, maka Mahfud mempersilahkan jika ada lembaga peradilan lain yang akan mengambil alih sengketa Pilkada.
"Saya persilahkan jika ada yang mau ambil alih. Jika masih dipercayakan pada kami yang harus sesuai dengan tata cara sidang di MK," kata Mahfud saat itu.
Wacana sengketa Pilkada diambil dari MK ini diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada pertengahan tahun ini.
Gamawan Fauzi mengusulkan sengketa pilkada diselesaikan di daerah, misalnya, kembali ditangani pengadilan tinggi guna menghemat biaya calon kepala daeran dan menghindari penumpukan kasus di MK.
"Ini sesuatu yang diusulkan oleh banyak pihak agar "cost"-nya (biaya) murah," kata Gamawan, Senin (5/7).
Gamawan mengatakan penyelesaian sengketa pilkada di daerah bisa dilakukan dengan dua cara, yakni MK bersidang di daerah atau dikembalikan ke pengadilan tinggi.
"Ini masih disusun dan akan dibicarakan dengan DPR untuk menentukan mana yang terbaik," kata Mendagri.
Dulu sengketa pilkada diselesaikan di daerah, yakni sengketa pilkada tingkat kabupaten diadili di pengadilan tinggi, sedangkan pilkada tingkat provinsi dilakukan Mahkamah Agung.
Kewenangan itu lantas dialihkan ke tangan MK, yang wajib menyelesaikan setiap perkara dalam jangka waktu 14 hari.
Wacana pengalihan penyelesaian sengketa Pilkada dari MK ke Pengadilan Tinggi (PT) justru ditolak berbagai kalangan karena dianggap akan menimbulkan ketegangan yang semakin tinggi.
Salah satu tokoh yang menentang adalah ahli hukum tata negara Saldi Isra yang mengatakan sengketa Pilkada ke PT justru mendekatkan tempat peristiwa dan pelaku politik dalam Pilkada yang dapat memicu ketegangan-ketegangan di daerah akan semakin tinggi.
Menurut dia, jarak tempuh jauh para pemohon dan termohon dapat mencegah kehadiran para pendukung pasangan calon kepala daerah ke Jakarta sehingga ketegangan antar pendukung dapat diminimalisasikan .
Muhidin mengungkapkan pula bahwa UU Pemerintahan Daerah paling banyak dari 134 UU yang telah diuji materikan ke MK.
Berdasarkan catatan MK sejak 2003 hingga 2010 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah diuji sebanyak 24 kali ditambah 11 kali uji materi UU Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan UU Nomor 32 tahun 2004 ini.
Sedangkan urutan kedua adalah uji materi UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD sebanyak 24 kali.
Sedangkan UU lain yang sering diujimaterikan adalah UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sebanyak 11 kali, UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran sebanyak 9 kali, UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden sebanyak 9 kali serta UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat sebanyak sembilan kali. (*)
J008/A011
Oleh Joko Susilo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010