Jakarta (ANTARA News) - Pecinta sepakbola sejati dan rakyat adalah yang paling jujur dan ikhlas mendukung Timnas. Mereka tak berharap timnas menang untuk mereka, apalagi memanfaatkan kemenangan timnas untuk mereka.
Sebaliknya mereka hanya ingin turut merasakan kemenangan tim, belajar tentang kerja keras, sportivitas, kewiraan, profesionalisme, kekompakan, harga diri, disiplin, dan prestasi.
"Mau menang atau kalah tetap Indonesia," kata Nurhadi Kurniawan, siswa STM asal Sumedang, yang menghabiskan masa liburannya dengan menonton seluruh pertandingan yang dijalani Indonesia dalam Piala AFF, termasuk mengikuti pertandingan langsung di Gelora Bung Karno.
Jangan anggap anak-anak muda dan rakyat biasa seperti Nurhadi tidak kritis pada keadaan. Jika pun mereka tidak bersuara, itu karena mereka hanya pada fokus pada tiga hal, yaitu timnas, permainan timnas, dan pemain timnas.
Tapi jika Anda tanyakan kepada mereka tentang pihak-pihak yang membonceng ketenaran dari sukses timnas, maka tak ada seorang pun dari mereka yang rela timnas mereka dieksploitasi seperti itu.
Bun Heryanto misalnya. Pegawai swasta di Jakarta ini mengkritik PSSI yang mengintervensi fungsi pelatih Alfred Riedl.
"Masa waktunya berlatih malah diajak makan-makan, ada PSSI lagi," kata Bun mengkritik undangan makan-makan dari seorang ketua umum partai politik besar Tanah Air.
Bahkan Muhammad Fachrudin yang pengemudi bajay pun punya pandangan kritis seperti Bun, mengenai bagaimana seharusnya timnas harus diperlakukan. Orang Tegal ini menyayangkan terlalu banyaknya acara di luar konteks sepakbola yang mesti diikuti timnas, seperti doa bersama di sebuah pesantren di Jakarta Barat.
"Kekalahan kemarin mungkin disebabkan kecapean, termasuk karena terpaksa mengikuti doa bersama itu," kata Fachrudin.
Orang-orang biasa sepeti Bun, Fachrudin, dan Nurhadi, yang menjadi pendukung paling ikhlas Timnas ini juga mengecam politisasi timnas, yang diantaranya diperlihatkan dengan bentangan beberapa spanduk yang mengatasnamakan pihak tertentu pada putaran pertama pertandingan piala AFF di stadion Bukit Jalil, Minggu (26/12).
"Saya tidak pernah melihat spanduk bergambarkan Silvio Berlusconi di San Siro tuh," kata Prasetyo Utomo, seorang karyawan swasta di Depok, penggemar fanatik AC Milan. Silvio Berlusconi adalah Perdana Menteri Italia dan sekaligus pemilik raksasa sepakbola Italia, AC Milan.
Nurhadi menyambung, "Politik ya politik, sepakbola ya sepakbola, jangan dicampur-aduk dong," kata Nurhadi.
Tetap memuja
Lantas, apakah kekalahan telak Indonesia 0-3 dari Malaysia akhir pekan kemarin memupus kepercayaan dan semangat pendukung Indonesia?
Sama sekali tidak, sebaliknya mereka semakin antusias dan yakin Indonesia bakal melewati semua rintangan dengan sangat baik, untuk kemudian menjadi juara AFF. Dan jika pun tidak, seperti telah disebut Nurhadi, mereka tetap memuja timnas.
Kata mereka, walaupun peluang untuk menang sangat kecil, namun Indonesia akan dapat memanfaatkan pertandingan leg terakhir untuk menjuarai Piala AFF 2010.
Yudi Awaludin, penjaga halte busway Gelora Bung Karno, menawarkan satu kunci memenangkan pertandingan, yaitu harus bermain lepas, menyerang dengan penuh disiplin dan fokus pada jalannya pertandingan.
Ya mungkin klise, karena memang sudah diutarakan oleh banyak orang, termasuk para pengamat. Namun jangan lihat pendapat mereka dari sisi sana, tapi lihat dari bagaimana perasaan memiliki timnas dari mereka yang amat besar.
"Blunder Maman harusnya tidak perlu, dia bisa saja buang bola keluar," kata Yudi menunjuk kesalahan palang pintu Maman Abdurrahman yang menjadi titik awal terciptanya gol pertama Malaysia lalu.
Yudi melihat, salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Alfred Riedl adalah memperbaiki mentalitas dan emosi pemainnya.
Intinya, pendukung timnas tetap positif terhadap tim kesayangannya, terhadap kinerja Alfred Riedl dan dedikasi pemain. Tapi, itu tidak berlaku untuk mereka yang menata organisasi sepakbola nasional.
Dalam soal manajemen tiket misalnya. Para pendukung timnas justru menunjuk kesalahan ada pada pengelola organisasi sepakbola, meskipun antri hari Minggu lalu berujung anarki dan perusakan.
Bun yang ikut mengantri hari itu mengkritik keras pernyataan Ketua Umum PSSI Nurdi Khalid di media massa yang mengatakan masyarakat tidak tertib sehingga terjadi kisruh.
"Kata siapa tidak tertib? PSSI yang tidak tertib, terutama Nurdin," kata Bun.
Dia menceritakan kronologis kekisruhan. Dia meminta Antara News membayangkan perasaan publik yang mengantri sejak pukul 00.00 WIB Minggu dini hari, sampai waktu yang dijanjikan bahwa pada pukul 10.00 WIB Minggu pagi loket akan dibuka.
"Dari malam sampai pagi mereka tertib kok," Bun.
Suasana tertib berubah kacau, karena mereka mendapati pengumuman bahwa waktu buka loket diundur pada pukul 11.00 WIB. "Ternyata tiket kurang dan habis, sebelumnya kami sempat diputar-putar dulu," kenang Bun.
Dia bercerita lagi, "Ada yang bilang tiket ada di pintu barat, maka kami pun berlari ke pintu barat, ternyata tidak ada. Lalu, ada yang bilang tiket di pintu timur, kami pun berlari ke pintu timur. Ternyata sama, nihil."
Bun meminta dipahami perasaan orang-orang yang sudah capek antri lebih dari delapan jam dengan tertib, tapi malah dilayani dengan tidak profesional.
"Kami sudah menaati semua persyaratan membawa KTP dan uang, siapa yang tidak tertib coba?" sambung Bun.
Kini, beberapa jam lagi, pertandingan final leg kedua akan dilangsungkan. Mereka pasti sudah melupakan kerepotan antri tiket, untuk fokus mengikuti pertandingan nanti.
Mereka tak akan peduli apa-apa, apalagi pada mereka yang mendompleng popularitas timnas.
Mereka hanya peduli pada timnas, karena sekarang inilah teritori di negeri ini yang membuat mereka senang, terhibur, memberi solusi, dan tak membuat pusing, apalagi lawan timnas adalah Malaysia, negeri yang selama ini membuat kesal rakyat Indonesia. (*)
editor: jafar sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
kebanyakan politik apa-apa gk ada yg becuS..
Bravo suporter Indonesia!