Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan BKKBN ingin lebih menajamkan intervensi dari hulu untuk mencegah lahirnya anak lahir dalam kondisi stunting (anak lahir kerdil).
“Ada hal-hal yang perlu kita tekankan bahwa di dalam Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (RAN PASTI), kita ingin sekali menajamkan intervensi dari hulu dengan prioritas mencegah lahirnya anak stunting,” kata Hasto dalam Rakor BKKBN dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) RI secara daring di Jakarta, Kamis.
Hasto menjelaskan pihaknya telah menyelesaikan pendataan keluarga tahun 2021 (PK21) sehingga telah mendapatkan data keluarga-keluarga yang memiliki risiko stunting dan data pasangan usia subur (PUS) yang nantinya perlu mendapatkan pembinaan.
Baca juga: BKKBN tegaskan stunting dapat menghambat bonus demografi
Ia mengatakan meskipun faktor sensitif menjadi perhatian yang penting, faktor spesifik yang merupakan proses dari mulai sebelum nikah, mau hamil, setelah hamil, setelah melahirkan harus dikawal bersama-sama oleh seluruh pihak.
Untuk mengawal faktor-faktor tersebut pada keluarga yang memiliki potensi melahirkan anak stunting, dia menegaskan penting untuk kepala desa, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan bidan yang bertugas untuk mengetahui kondisi keluarga tersebut.
“Oleh karenanya keluarga-keluarga yang punya potensi melahirkan anak stunting, semua harus diketahui oleh Kepala Desa, PKK, dan bidan yang ada di tempat itu harus tahu”, ujar dia.
Selain lebih cermat dalam memperhatikan data keluarga-keluarga yang menjadi sasaran, pihaknya juga menajamkan pengawasan kepada perempuan yang ingin menikah sejak tiga hingga enam bulan sebelum pernikahan (masa peri konsepsi).
Baca juga: BKKBN-Kemen PPPA sebut edukasi perkawinan anak perlu lebih digalakkan
Hasto menjelaskan, meskipun lingkungan tempat tinggal telah memenuhi syarat hidup sehat seperti kondisi rumah bagus, memiliki jamban dan air yang mencukupi, kalau ibu yang bersangkutan memiliki penyakit anemia maka risiko anak lahir stunting tetap bisa terjadi.
“Ahli gizi ternyata juga memperlihatkan meskipun rumahnya sudah bagus, jambannya sudah bagus airnya cukup, tetapi kalau yang bersangkutan anemia, maka tetap anaknya beresiko stunting. 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) harus benar-benar diperhatikan dan harapannya bayi masuk usia dua tahun bebas dari stunting,” kata dia.
Tidak hanya memperhatikan para ibu, Hasto juga meminta seluruh pihak untuk menaruh perhatian pada kondisi bayi mulai dari baru lahir hingga berusia dua tahun, yakni apakah bayi tersebut memiliki berat lebih dari 2,5 kilogram dan panjang badan 48 centimeter atau tidak.
“Kalau semua bayi yang lahir di suatu wilayah yang berat badannya kurang dari 2,5 dan panjangnya kurang dari 48 centimeter (diketahui), maka begitu lahir kemudian segera ASI eksklusifnya diberikan. Maka nanti makanan pendampingan ASI nya diberikan, setelah dia dua tahun akan terbebas dari stunting. Harapannya masuk usia dua tahun bebas dari stunting sehingga nanti prospek menjadi sumber daya manusia unggul besar,” kata Hasto.
Baca juga: Kepala BKKBN beberkan permasalahan keluarga saat pandemi COVID-19
Baca juga: BKKBN minta penyuluh untuk genjot KB usai persalinan
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021