Ini menjadi salah satu upaya untuk melakukan perlindungan dan pelestarian melalui inventarisasi motif batik tulis Lasem yang berkembang sekarang

Jakarta (ANTARA) - Kain batik, mendengar kata itu, maka yang terpikir dalam benak masyarakat adalah sesuatu wujud tradisi budaya yang khas Nusantara, Indonesia.

Mulai dari rakyat di perdesaan, perkotaan, baik di Tanah Air hingga mancanegara, saat ini sudah sangat mengenal batik.

Di tingkat global, diplomat asing sejawat diplomat Indonesia pun dalam setiap acara resmi tidak sedikit yang memakainya, sehingga gema batik kian mendunia.

Terlebih, setelah melalui proses yang panjang, yakni sejak didaftarkan pemerintah ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan berhasil masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda dari Indonesia yang ditetapkan UNESCO pada 4 September 2008, maka ada pengakuan resmi.

Pengakuan resmi itu terjadi pada 2 Oktober 2009, di mana batik ditetapkan sebagai daftar Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO pada sidang UNESCO di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Batik dianggap memenuhi tiga di antara lima domain berdasarkan Konvensi Internasional Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda Manusia 2003.

Baca juga: Motif batik COVID-19 tercipta selama isolasi mandiri

Tiga poin tersebut, yakni pertama, tradisi dan ekspresi lisan, kedua, kebiasaan sosial dan adat istiadat masyarakat ritus dan perayaan-perayaan, serta ketiga, kemahiran kerajinan tradisional.

Batik mukena kaya Askara. (ANTARA/HO-Askara)

Inovasi batik

Jika selama ini batik lebih banyak dikenal dalam bentuk busana, seperti baju dan semacamnya, kian berkembang pula inovasi-inovasi dalam wujud lainnya.

Salah satu inovasi itu adalah yang dilakukan Askara, pemilik merek (brand fashion) khusus alat ibadah, seperti mukena, sajadah, scarves, dan sarung.

CEO Saskara, Andya Kartika, menjelaskan bertepatan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2021, pihaknya meluncurkan "Purak Barik", yakni seri pertama mukena bermotif batik.

Mukena seri pertama Nusantara "Purak Barik" itu terinspirasi dari keragaman seni, budaya, dan kekayaan hayati Nusantara dan digagas dalam rangka melestarikan kebudayaan Indonesia. Pihaknya membuat mukena seri Nusantara.

Koleksi "Purak Barik" itu merupakan bagian dari 34 seri Nusantara yang akan dibuat Saskara. Setelah "Purak Barik", akan diluncurkan 33 seri lainnya, yang berasal dari provinsi di Indonesia

Filosofi "Purak Barik" diambil dari salah satu nama gerakan berpindah tempat burung Enggang yang terlukis dalam ciri khas tarian Suku Dayak di Kalimantan.

"Purak Barik" menjadi koleksi khusus Nusantara yang terinspirasi dari provinsi termuda atau ke-34 di Indonesia, yakni Kalimantan Utara (Kaltara).

"Mukena adalah budaya asli Indonesia, di mana budaya ini tercipta pada saat masuknya Islam ke Nusantara. Untuk itu seri mukena yang diluncurkan mengacu pada budaya yang ada di Nusantara”, kata Andya Kartika.

Baca juga: Gus Menteri berencana identifikasi berbagai motif batik khas Indonesia

Seri "Purak Barik" hadir dengan tiga pilihan warna (Black Onyx, Alabaster Gleam, dan Peach skin), sajadah berukuran kecil dan pouch unik bermotif penari dan burung Enggang.

Makna filosofis

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menyebut bahwa batik bukanlah sekadar selembar kain bermotif dan bukan hanya hasil sebuah karya dan hasil ketekunan.

"Di dalam batik terkandung makna filosofis kehidupan rakyat Indonesia, mulai dari lahir hingga kembali ke hadirat Tuhan, mulai dari pengaruh alam sekitar hingga pengaruh zaman," katanya saat peringatan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober 2020 secara virtual, di Jakarta.

Pada kegiatan kala itu, untuk pertama kalinya kain batik sepanjang 74 meter --melambangkan 74 tahun Indonesia merdeka-- dan diberi nama oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kain Batik Garuda Nusantara dibentangkan setelah selesai dibuat selama 12 bulan sejak penggoresan malam pertama dicantumkan oleh Presiden pada 1 Agustus 2019.

Kain batik ini dibuat dengan melibatkan puluhan pembatik dari sentra-sentra batik di Nusantara, yang digagas Yayasan Canting Batik Indonesia dengan dukungan dari Kemendikbudristek dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

Sedangkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno menyatakan sebagai warisan budaya agung, diperlukan upaya untuk melakukan perlindungan dan pelestarian melalui inventarisasi motif batik.

Baca juga: 42 motif batik khas Minang dipatenkan

Salah satunya, katanya saat menanggapi peluncuran buku "Memadukan Keberagaman", yang berisi hasil riset terhadap motif batik tulis Lasem, yakni dalah mendokumentasikan motif modifikasi batik tulis.

"Ini menjadi salah satu upaya untuk melakukan perlindungan dan pelestarian melalui inventarisasi motif batik tulis Lasem yang berkembang sekarang," katanya di Jakarta, Ahad (8/8).

Menurut Sandiaga, yang dimaksudkan melindungi adalah untuk menjaga agar motif-motif modifikasi sebagai kekayaan intelektual seniman pengrajin daerah dan nasional ini tidak diklaim atau digunakan secara sembarangan oleh pihak-pihak di luar Lasem, bahkan di luar Indonesia.

Pentingnya pelestarian, bagi Menlu Retno Marsudi, sebagai bangsa Indonesia, masyarakat harus mampu merawat dan melestarikan serta mengenalkan batik Indonesia kepada dunia.

"Untuk itu kami sebagai garda terdepan diplomasi Indonesia, kami tidak pernah lelah untuk mempromosikan batik Indonesia ke masyarakat internasional," katanya.

Oleh karena itu, para diplomat Indonesia di dalam setiap kesempatan kerap kali mengenakan pakaian seragam batik dan juga kain Nusantara lainnya.

Dengan begitu tingginya nilai batik, agaknya upaya inovasi-inovasi baru untuk mengembangkan warisan tradisi bangsa Indonesia perlu terus dibangun dan didorong guna lahirnya kreasi-kreasi yang kian mumpuni.

Baca juga: Pontianak gelar pembuatan batik tulis terpanjang se-Kalbar
Baca juga: Saskara luncurkan seri pertama mukena Nusantara
Baca juga: Pameran inovasi di UGM dikunjungu Raja dan Ratu Belanda

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021