Jakarta (ANTARA News) - Mengapa Gelora Bung Karno (GBK) Senayan Jakarta mendadak mempunyai daya sihir demikian tinggi akhir-akhir ini? Sederhananya, karena Tim Nasional (Timnas) Sepakbola Indonesia di luar dugaan mendadak juga menang berturut-turut sampai lima kali, mengalahkan lawan tangguh dari negara lain. Masyarakat merasa melihat ada jendela kebanggaan dan harga diri bangsa terkuak disitu.

Peristiwa yang spektakular yang dipertontonkan pemain nasional sepakbola Indonesia -–yang berhasil mengalahkan Malaysia, Laos, Thailand dan Filipina dengan angka telak-- memang mempunyai daya magis yang tinggi, menyentak masyarakat untuk melakukan aktualisasi diri.

Setidak-tidaknya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab. Pertama, belakangan ini prestasi sepakbola nasional sudah lama terpuruk dan jadi bulan-bulanan kekesalan masyarakat Indonesia yang mayoritas pencinta bola.

Kedua, masyarakat sedang mengalami frustrasi sosial karena buruknya kinerja sejumlah penyelenggara negara. Ketiga, masyarakat menemukan bahwasanya masih ada sosok yang mampu memberi mereka semangat, motivasi dan inspirasi akan hidup yang lebih baik.

Momentum emas yang muncul lewat rumput hijau di Senayan itu, bagaikan hujan lebat yang turun di tengah siang bolong, ketika kemarau panjang yang menanduskan bumi dan harapan hidup masyarakat oleh himpitan ekonomi dan karut marutnya di sejumlah lini penyelenggaraan negara.

Masyarakat yang nyaris putus asa tertekan beban kehidupan yang kian hari kian berat menemukan panggung hiburan yang murah untuk bersosialisasi. Masyarakat, yang didominasi kalangan ekonomi lemah, berduyun-duyun membanjiri GBK di Senayan. Mereka bersuka cita berpanas terik antri puluhan jam untuk ikut menoreh sebuah sejarah menghempas sengsara.

Kelas menengah ekonomi kuat tumpah ruah juga untuk tujuan menjadi bagian dari sejarah. Pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang selama ini terus menerus menerima sumpah serapah masyarakat pun berbusung dada tampil ke permukaan.

Kelompok pejabat juga terlihat tidak mau ketinggalan memainkan trik politik pencitraan. Semuanya bertemu di satu titik, ingin menjadi bagian dari sejarah kebangkitan bangsa yang disimbolkan permainan terpopuler seantero jagat, yakni sepakbola.

Di pundak anak-anak yang sebagian besar orang tuanya berpenghasilan pas-pasan, harga diri bangsa dititipkan. Didukung dua orang pemain kelahiran di luar Indonesia plus mantra “Garuda Di Dadaku”, maka sempurna sudah pembebanan berkualifikasi kebangsaan itu. Berbagai kelemahan prinsipil mau disembunyikan di balik euforia sepakbola Piala Federasi Sepakbola Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (Asean Football Federation/AFF).

Degradasi semangat kebangsaan yang bermetafora dalam bentuk maraknya kekerasan, meluasnya diskiriminasi dan lunturnya gotong royong di tengah–tengah kehidupan masyarakat akibat pembiaran dari sejumlah kalangan pamong praja seakan kewajaran yang harus diterima.

Sayangnya, sebuah adagium paten dalam dunia sepakbola terlupakan begitu saja, yaitu "bola itu bundar". Euforia kemenangan yang dipetik di kandang sendiri sempat “memabukkan” berbagai kalangan. Hanya saja kadar kemabukan bervariasi. Publik umumnya “mabuk” kebahagiaan menyaksikan fenomena kebangkitan sepakbola Indonesia. Partikel kemabukan politis dan eksekutif berjenis kelamin lain, banyak yang menganggapnya sebagai cara lain mengalihkan isu ketertinggalan yang ditukar tambah dengan berbagai paket pencitraan.

Berbagai acara seremonial spontan digagas, sampai-sampai pelatih Alfred Riedl berkomentar bahwa terlalu banyak acara di luar latihan anak asuhnya. Pelatih dan mantan pesepakbola kelas dunia kelahiran Austria itu sekaligus memuji kesetiaan para pendukung Timnas Sepakbola Indonesia, yang tetap setia membela Firman Utina dan kawan-kawan.

Akan fatal akibatnya manakala kolektivitas jiwa dan pikiran para pemangku kepentingan Timnas Sepakbola Indonesia, terutama penonton fanatik yang bayar sendiri, sempat dinodai pikiran lain yang berlawanan arah. Sepakbola pada dimensi tertentu juga adalah "idealisme". Sepakbola yang mengagungkan sportivitas sangat rentan terkontaminasi penyimpangan niat segelintir oknum yang ingin merengkuh citra kelompok yang tidak terkait dengan “ideologi” sepakbola. Kekalahan tragis Indonesia di Kuala Lumpur 0-3 dapat menerangkan betapa fatal efek penyimpangan yang dimaksud.

Kita semua harus mau bersikap bijak untuk melihat sesuatu yang sangat berharga sebagai modal sosial (social capital), yaitu ketangguhan dan ketabahan masyarakat akar rumput yang bersedia antri puluhan jam untuk sebuah tontonan yang hanya berdurasi satu setengah jam. Hampir tidak masuk akal hal itu akan mereka lakukan jika jauh di bawah lubuk hati mereka tidak ada motivasi dan harapan yang mereka pegang. Ini pula ideologi sepakbola.

Kerelaan berdiri berjam-jam, dari subuh sampai tengah malam, hanya untuk antre karcis sungguh sangat menakjubkan. Hal tersebut belum tentu mereka akan mau lakukan jika perintah antre itu datangnya dari kekuasaan.

Hal yang menarik, tumpah ruahnya masyarakat yang mencapai jumlah seratus ribu lebih, di dalam dan di luar stadion GBK, bukanlah buah hasil kerja koordinator lapangan partai politik tertentu yang memobilisasi massa untuk tujuan kampanye. Terlebih lagi, massa yang banyak itu tidak datang karena diiming–iming dengan kaos berlambang partai politik tertentu plus uang transport.

Masyarakat yang seratus ribu orang lebih itu datang atas kemauan sendiri, dengan biaya sendiri, bahkan dengan kesadaran sendiri. Mereka dipertemukan dengan sosok-sosok senasib berdasarkan persamaan latar belakang. Mereka adalah kelompok orang-orang yang selama ini lebih sering tidak diperhitungkan sebagai subyek kemajuan, namun selalu menjadi obyek rutinitas lima tahunan dalam pesta demokrasi.

Orang-orang tangguh itu berhasil membuktikan diri bukan saja kekuatan fisik mereka yang prima, akan tetapi sekaligus mempertontonkan kemampuan diri mereka bisa menyatu ke dalam persamaan nasib atas dorongan mentalitas kemandirian yang luar biasa.

Modal sosial ini selain menakjubkan, juga harus bisa dirawat untuk menjadi energi bangsa guna mengatasi ketebatasan negara melaksanakan perintah konstitusi guna memenuhi hak-hak dasar masyarakat yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, energi massa ini harus secara dini dipagari dari terjadinya tindakan manipulasi kelompok tertentu, yang mau memanfaatkan momentum ketangguhan masyarakat tersebut ditarik ke dalam pusaran citra sesaat.

Sinergi semangat dan aura sportivitas Timnas Sepakbola Indonesia bersama massa pendukungnya yang setia adalah energi luar biasa bagi negeri ini. Tak elok menyeret-nyeret mereka ke ranah yang tidak ada kaitan langsung dengan sepakbola. Prestasi sinergis mereka bersumber dan terkait secara substansial dengan kerelaan sejati.

Sangat bisa dipahami jika masyarakat luas yang antre dari subuh sampai tengah malam itu mendadak marah besar, bahkan mengamuk, manakala diri mereka merasa tidak dihargai oleh panitia melalui jadwal penjualan tiket yang tidak menentu. Kemarahan mereka adalah ekspresi kekecewaan atas pelayanan publik.

Masyarakat akar rumput yang ratusan juta jumlahnya sesungguhnya adalah pendukung sejati Timnas Sepakbola Indonesia yang tanpa pamrih. Mereka akan terus terjaga memantau dan bersiap memotong tangan kotor kepentingan kelompok, yang mau menangguk keuntungan pribadi dari perjuangan tenaga, keringat para pemain sepakbola kecintaannya. Mereka rela berbagi airmata dengan keluarga pesepakbola, yang tercekam dalam kecemasan, dan berdoa tiap kali Timnas Sepakbola Indonesia bertarung di rumput hijau.

Pada gilirannya, masyarakat pun makin cerdas dan waspada bahwa tidak pada tempatnya bahwa nasionalisme atlet berprestasi yang kini layaknya diperlihatkan Timnas Sepakbola Indonesia jauh lebih sportif dibandingkan dengan kepentingan lain yang terkesan "numpang ngetop" saja. (*)

*) Zainal Bintang (bintang1246@yahoo.com) adalah wartawan senior; pengamat sosial dan budaya.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010