Namun, merosotnya minat masayarkat terlebih generasi muda terhadap kesenian tradisonal wayang tersebut, tidak menurunkan semangat salah seorang perajin wayang kulit, Suwito, warga Desa Dumplengan, untuk terus memproduksi wayang kulit ini.
"Saya menekuni pekerjaan ini sudah sejak dari tahun 1980-an. Dan hingga sekarang masih berjalan, meski pesanan sudah tidak seramai dulu," ujar Suwito, Senin.
Menurut Suwito, wayang kulit diciptakan berdasarkan cerita saat kejayaan Kerajaan Majapahit yang melakonkan cerita Ramayana dan Mahabarata. Berangkat dari nilai sejarah yang sangat tinggi tersebut, Suwito ingin melestarikan budaya wayang kulit, yang dewasa ini pamornya semakin meredup.
Suwito menekuni usaha pembuatan wayang kulit itu di rumahnya.Lelaki tua itu menekuni pekerjaannya meskipun pesanan yang datang makin menurun.
Semua proses pembuatan wayang kulit dilakukannya sendiri. Jika mendapat pesanan banyak, maka Suwito akan dibantu oleh dua temannya untuk membuat wayang kulit.
Proses pembuatan wayang kulit ini dimulai dari menggambar pola wayang di atas kulit sapi atau kambing yang telah dipilih. Setelah menggambar pola selesai dilanjutkan dengan proses penatahan. Kemudian, gambar yang telah tertatah, dilanjutkan dengan proses pengecatan dan dikeringkan.
Dalam sehari, Suwito rata-rata bisa menghasilkan satu buah tokoh wayang kulit, dengan harga Rp100.000 hingga Rp200.000, tergantung jenis wayang dan ukuran. Sedangkan, untuk membuat hiasan dinding wayang kulit dengan ukuran satu kali satu meter, dibutuhkan waktu sekitar satu minggu, dengan harga mencapai Rp650.000.
"Dulu pemesanan didominasi sebatas untuk keperluan pagelaran, namun kini justru cukup diminati warga untuk hiasan dinding. Hal ini karena keunikan dan keindahan wayang kulit dengan berbagai jenis dan ukuran yang tawarkan," ujarnya.
Meski karyanya telah banyak dikenal di sejumlah wilayah seperti Jakarta, Surabaya, Madiun, Ngawi, dan sekitarnya, Suwito tetap merasa kesulitan untuk memasarkan hasil karyanya. Selain itu, ia juga kesulitan mendapatkan bahan baku kulit, terlebih lagi kulit sapi.
Suwito mengaku, untuk bahan dasar kulit hewan sapi, ia terpaksa mendatangkan dari daerah Klaten, Jawa Tengah, sedangkan bahan baku kulit kambing didatangkan dari dari Ngawi, Magetan, dan sekitarnya.
Di tengah menurunnya pemesanan, ia pun bertekad, membuat wayang kulit tidak hanya untuk mendapatkan penghasilan, namun lebih pada upaya pelestarian warisan budaya, sehingga berharap mendapat dukungan dari semua pihak, baik pemerintah daerah maupun warga masyarakat.
(T.ANT-072/A035//P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010