Jakarta (ANTARA News) - Salah satu gereja tertua yang berada di wilayah Jakarta Utara yaitu Gereja Tugu, punya daya tarik sendiri sehingga sebagian jemaat sengaja memilih gereja itu untuk mengikuti kebaktian Natal.
"Ibadah sih sama seperti di gereja lainnya, tetapi rasanya berbeda karena bangunannya bersejarah," kata Johnny Ratulangi.
Johny , warga Cileungsi Bogor, bersama jemaat lainnya mengikuti kebaktian Natal pada Sabtu pagi di Gereja Tugu.
Dia mengaku sangat mengagumi bangunan dan arsitektur gereja itu.
Pada Sabtu pagi itu para jemaat melakukan kebaktian Natal hingga di luar bangunan gereja, hingga bawah tenda yang khusus disediakan panitia di depan pintu depan gereja.
Jemaat yang datang datang dari wilayah Semper, Plumpang dan Kelapa Gading.
GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat) Tugu terletak di wilayah kampung Tugu Jalan Raya Tugu Semper 20 RT 010/06 kelurahan Semper Barat Jakarta Utara.
Gereja itu berdiri sejak ratusan tahun lalu, diperkirakan dibangun antara 1676-1678. Gereja ini direnovasi tahun 1737 namun tiga tahun kemudian hancur dalam peristiwa pemberontakan Tionghoa.
Empat tahun kemudian, 1744, gereja itu dibangun kembali dan pada 1748 diresmikan oleh pendeta JM Mohr.
Ciri khas Gereja Tugu adalah lonceng di sisi selatan gereja yang diperkirakan dibangun pada abad ke-19. Terdapat pula alkitab berbahasa Melayu yang diterbitkan pada 1678.
GPIB Tugu masih berdiri dan berfungsi walaupun di berbagai sudut sudah banyak yang harus diperbaiki karena faktor usia. Gereja ini terlihat kokoh dan terawat, di dalamnya berisi bangku antik yang tersusun rapi, mimbar dan lonceng tua.
Luas lahan gereja Tugu beserta taman pekuburan yang ada di depannya sekitar 1,5 hektar .
Gereja yang letaknya di sisi jalan Raya Tugu, jalur kendaraan berat kontainer, menjadi cagar Budaya sejak tahun 1999, seperti tertera pada papan pengumuman di depan halaman gereja. Terdapat pekuburan Protestan di kompleks tersebut.
Gereja Tugu tidak bisa dipisahkan dari tempatnya kampung Tugu. Disebut kampung Tugu konon karena ada batu berukir yang kemudian disebut Prasasti Tugu.
Kampung Tugu "dikelilingi" sejumlah bangunan industri dan jaraknya dari Pelabuhan Tanjung Priok kurang dari 5 kilometer.
Awalnya, warga kampung Tugu adalah keturunan Portugis yang mulai menghuni tempat itu sejak pertengahan 1600-an.
Ketika itu VOC merebut kota pelabuhan di Semenanjung Malaka dari Portugis. Belanda membawa tawanan perang ke sekitar Batavia lalu ditempatkan di kawasan Kampung Bandan.
Setelah 20 tahun menetap di Kampung Bandan, sekitar 100 orang bangsa Portugis itu dimerdekakan dan dipindah ke Kampung Tugu dengan syarat mereka pindah agama dari Katolik ke Protestan. Mereka disebut De Mardijkers, yang artinya orang yang dimerdekakan.
Budaya Portugis terpelihara selama beratus tahun di Kampung Tugu, bahkan ada kursus bahasa Portugis. GPIB Tugu merupakan satu-satunya tempat keturunan Portugis yang menganut agama Protestan, berbeda dengan komunitas Portugis lain yang menganut Katolik.
Pada Tahun 2009 dilakukan pemugaran terhadap bangunan gereja namun hasilnya mengundang protes dari pihak komunitas Tugu.
Ini terjadi karena bentuk asli terutama pada bagian atap yang semula tidak memiliki jarak atau menempel kini memiliki jarak satu meter.
"Sebelum dipugar dan beratap genteng,atap Gereja dahulunya sirap," tutur Laurens Frans (54), pria asal Kupang yang besar di Semper dan sudah bekerja di Gereja Tugu selama 12 tahun sebagai sekuriti.
Laurens mengatakan, IKBT (Ikatan keluarga besar keluarga Tugu) saat ini diketuai oleh Andre Juan Michiels yang merupakan keturunan langsung Portugis Tugu. Di kampung ini terdapat tujuh fam keluarga keturunan portugis antara lain Abraham, Michiels, Broune, Andries, Quiqo.
Laurens mengatakan, Gereja dan makam Tugu banyak dikunjungi tamu dari mancanegara seperti dari Belanda dan Portugis. "Mereka biasanya ke sini untuk mencari silsilah keturunan keluarga," ujar laurens. Konon, beberapa keturunan Kampung Tugu pada awal Indonesia merdeka pindah ke Belanda.
Keroncong Tugu
Atraksi budaya yang paling dikenal dari komunitas tugu adalah keroncong yang biasa disebut sebagai musik keroncong Tugu. Setiap kali menyambut tahun baru mereka selalu menampilkan musik khas itu diiringi dengan acara yang disebut mande-mande.
Sebutan itu adalah untuk ritual yang dilakukan bersama-sama dengan saling melumuri bubuk putih atau bedak ke wajah mereka masing-masing. Tujuannya menyambut tahun baru dan menambah keakraban persaudaraan.
Ada tiga kelompok keroncong Tugu memiliki tiga kelompok yaitu, kelompok Arthur, Moresko, dan Capriyo.
Selain itu ada rabo-rabo yang memiliki makna mengekor. Rabo-rabo adalah permainan musik keroncong di satu rumah yang kemudian berpindah ke rumah lainnya dan seterusnya. Penghuni rumah yang didatangi ikut serta dalam rombongan keroncong yang menghasilkan rombongan besar yang mengekor terus, dan karena itulah dinamakan rabo rabo.
"Rabo-rabo bermakna menghormati yang tua dengan cara mengunjungi rumahnya untuk menyelesaikan semua permasalahan yang aada," tutur Laurens
Pada tanggal 29 Desember mendatang akan digelar perayaan Natal bersama Komunitas Tugu dan gelar budaya yang akan menampilkan musik keroncong Tugu.
Gereja Tugu juga pernah dikunjungi oleh duta besar dari negara Potugal, Brazil, Zimbabwe dan Timor Leste yang memiliki hubungan erat dengan bangsa portugis karena pernah menjadi wilayah jajahan.
(yud/A038/ART)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010