Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan energi Fabby Tumiwa mengatakan rencana implementasi pajak karbon berpotensi menekan daya beli masyarakat dan kontraproduktif dengan upaya mempercepat pemulihan ekonomi, karena pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan.

"Pemulihan ekonomi pascaCOVID-19 pasti membutuhkan waktu lama. Kalau ekonomi baru mau pulih, namun pajak karbon ini diberlakukan bisa menjadi penghambat," kata Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Menurutnya, pajak karbon yang akan dikenakan kepada produsen atau menyasar sisi produksi ini, memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur.

Sejalan dengan itu, kata dia, maka produsen akan membebankan pajak tersebut kepada konsumen dengan mengerek harga jual barang. Artinya, masyarakat menjadi pihak terakhir yang harus menanggung beban pajak karbon tersebut.

Kebijakan ini juga tidak selaras dengan strategi pemerintah untuk menyehatkan ekonomi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yakni pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Baca juga: Pengamat sebut penerapan pajak karbon dapat dorong daya saing industri

Jika pajak karbon diterapkan, akselerasi UMKM dikhawatirkan terhambat karena kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap ongkos produksi yang dikeluarkan.

Menurut Fabby, kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal.

"Harus dipikirkan dampak dari kebijakan ini kepada industri-industri tertentu, karena industri yang terkena harus mempersiapkan diri," kata Fabby.

Sebelumnya Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memastikan pajak karbon akan diterapkan pada waktu yang tepat dengan besaran pungutan yang tidak membebani pelaku usaha.

“Akan dipilih sektor tertentu yang kontribusinya besar dan cukup siap untuk dipungut pajak karbon. Serta akan dikaitkan dengan insentif non fiskal agar memberi daya dukung lebih kuat bagi investasi dan transformasi ekonomi,” kata Prastowo.

Menurutnya, saat ini pemerintah sedang memetakan berbagai pungutan yang bertujuan mengurangi emisi karbon, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak daerah. Ketentuan ini akan diintegrasikan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapannya ke depan.

“Ini pentingnya mendesain bagaimana formulasi pajak karbon yang efektif untuk mencapai tujuan, tapi sekaligus tidak menjadi beban dengan pajak berganda,” kata Prastowo.

Baca juga: Pengamat harapkan komunikasi transparan soal penerapan pajak karbon

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021