Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama berpendapat vaksin COVID-19 yang tersedia saat ini masih bisa digunakan untuk menangani varian-varian baru virus corona termasuk Delta, kendati efikasinya turun.
"Efikasi vaksin sekarang memang turun karena ada mutasi atau varian baru. Tetapi sejauh ini walaupun turun masih bisa dipakai untuk menangani varian-varian yang ada sampai saat ini terutama mencegah penyakit berat dan kematian," kata dia di sela Kuliah Pakar bertajuk "Peran Biomedis di Era dan Pasca Pandemi" yang digelar Universitas YARSI, Rabu.
Vaksin Pfizer-BioNTech misalnya. Analisis yang dilakukan Public Health England, seperti dikutip Healthline menunjukkan, vaksin ini kira-kira 80 persen efektif mencegah infeksi dari varian Delta.
Hasil ini didapat setelah para peneliti menganalisis 14.019 orang pasien dan 166 di antaranya menjalani perawatan di rumah sakit wilayah Inggris.
Dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech sekitar 88 persen efektif melawan penyakit simtomatik dan 96 persen efektif mencegah pasien dengan varian Delta menjalani rawat inap.
Sebuah studi laboratorium kecil yang dilakukan para peneliti New York memperlihatkan, vaksin berbasis mRNA yakni Pfizer dan Moderna efektif sekitar 94-95 persen efektif mencegah COVID-19 dengan varian Delta.
Vaksin Pfizer sendiri diketahui memiliki efikasi sebesar 95 persen infeksi SARS-CoV-2.
Sementara itu, untuk Sinovac, dua suntikan vaksin memberikan kemanjuran 59 persen terhadap varian Delta, 70,2 persen untuk COVID-19 kategori sedang dan 100 persen untuk kasus parah, ungkap sebuah studi yang dilakukan para peneliti dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Guangzhou seperti dikutip dari Xinhua.
Dalam studi itu, peneliti melibatkan 628 orang pasien termasuk 153 orang yang terkonfirmasi COVID-19 dengan varian Delta.
Menurut Tjandra yang pernah menjabat sebagai Direktur WHO Asia Tenggara itu, bila nantinya efikasi semakin turun maka upaya yang bisa dilakukan ialah modifikasi vaksin bukannya membuat vaksin baru.
"Kalau nanti turun lagi, maka bisa dilakukan modifikasi. Jadi tidak perlu bikin vaksin baru. Sekarang masih belum (turun). Jangan berpikir nanti kalau turun lagi kita harus memulai lagi, prosesnya menunggu setahun lagi baru ada vaksin. Modifikasi, cukup cepat 6-8 minggu," kata dia.
Hal senada juga diungkapkan para peneliti dari Texas. Mereka, seperti dikutip dari News Medical mengatakan perlunya memodifikasi vaksin COVID-19 yang saat ini digunakan agar sesuai dengan varian yang beredar.
Peneliti Pei-Yong Shi dan koleganya merekomendasikan peningkatan imunisasi global dengan vaksin yang tersedia saat ini, bersama dengan booster bila diperlukan. Cara ini bisa dilakukan sebagai salah satu pendekatan untuk mengakhiri pandemi COVID-19.
Namun, desain vaksin booster tergantung pada apakah varian yang baru muncul dapat lolos dari kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin saat ini atau infeksi alami.
Menurut mereka, potensi hilangnya kekebalan akibat setiap varian baru pada individu yang divaksinasi dan terinfeksi harus dipantau secara ketat.
Baca juga: LIPI: Modifikasi vaksin untuk antisipasi varian dari Afsel dan Brazil
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah waspadai varian baru COVID-19
Baca juga: Kemenkes: Terdapat varian baru COVID-19 yang harus diwaspadai
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021