Jakarta (ANTARA News) - Seringai sepasang ondel-ondel yang dipajang di atas pintu utama bangunan kokoh berwarna krem itu seakan menyambut setiap orang yang datang.
Beberapa spanduk dengan dua wajah ondel-ondel, yang laki-laki dengan kumis melintang dan ondel-ondel perempuan berwarna merah jambu, juga terpampang di depan pintu gerbang.
Sebuah pos keamanan, seperti 'langkan', serambi depan dalam arsitektur rumah Betawi mengisi ruang berukuran dua kali tiga meter tepat di depan gereja. Ratusan kursi lipat berjejer rapi di teras luas dengan atap yang berujung segitiga-segitiga kecil runcing, seperti gerigi.
Sebuah kandang Natal, miniatur kandang ternak tempat Yesus dilahirkan ribuan tahun lalu di Betlehem, Palestina, terbuat dari bilah-bilah bambu berdiri agak miring di samping sebuah altar yang telah dihiasi dengan kembang warna-warni.
Kecuali aromanya yang tidak menyengat, kandang Natal itu lebih mirip kandang-kandang kambing yang sering ditemui di pinggiran Jakarta menjelang Hari Raya Idul Kurban.
Dari dalam ruangan yang luas itu sayup-sayup terdengar senandung 'Mary's Boy Child' dinyanyikan oleh kelompok paduan suara anak-anak. Di samping kelompok paduan suara yang sering disebut kelompok 'koor' itu, sebuah pohon cemara dari kertas tegak berdiri.
Ya, bangunan itu memang sebuah gereja. Gereja Katholik Santo Servatius Kampung Sawah, Jati Melati, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat. Sebuah gereja yang sejak lebih dari seabad silam telah menjadi tempat ibadah beberapa umat Katolik asli Betawi.
Nuansa budaya Betawi kembali ditonjolkan meski tidak secara khusus, tetapi lebih seperti sebuah rutinitas dalam tiap perayaan besar di Gereja Kampung Sawah.
"Panitia akan mengenakan pakaian ciri khas Betawi," kata Antonius Napiun (32), ketua panitia Perayaan Natal di Kampung Sawah saat ditemui ANTARA News di pelataran Gereja Kampung Sawah, Jumat.
"Dalam setiap acara besar gereja kita selalu mengenakan pakaian khas Betawi, seperti Natal, Paskah, atau saat ulang tahun gereja," tutur Antonius yang juga salah seorang warga asli Betawi di lingkungan itu.
Umat Paroki Santo Servatius Kampung Sawah juga punya 'satuan' khusus yang disebut 'Krida Wibawa'. Kelompok Krida Wibawa ini adalah orang-orang Betawi asli yang bertugas di dalam gereja untuk mengawal misa agar berjalan dengan lancar.
"Kita diwajibkan mengenakan pakaian pangsi, peci, dan golok, dan hanya bertugas seremonial, semacam mengawal kelancaran perayaan ekaristi," tutur Antonius Yepta Noron (57), salah satu tokoh asli Betawi di Kampung Sawah.
Menurut pria yang berprofesi sebagai guru itu, jumlah anggota Krida Wibawa sekarang berjumlah 17 orang. Setiap hari Minggu biasanya empat anggota Krida Wibawa bertugas di setiap misa, tetapi dalam pesta liturgi besar seperti Natal, semua anggota Krida Wibawa akan ikut serta.
"Kami hanya bertugas mengawal romo dari sakristi (ruang persiapan sebelum seorang Imam menuju altar) sampai ke altar dan sebaliknya," papar Yepta, demikian ia sering disapa.
Lestarikan Tradisi
Meski terlihat unik, menemukan corak Betawi berbaur dalam Gereja Katolik, umat Kampung Sawah melihatnya tidak lebih dari menjaga amanah leluhur.
"Kami berharap tradisi para pendahulu kami akan tetap terjaga dan dikembangkan di Gereja Kampung Sawah ini," ucap Yepta.
Asa Yepta itu memang masuk akal. Nuansa kental Betawi lahir dari jemaat-jemaat pertama Gereja Kampung Sawah yang merupakan orang Betawi asli. Kini anak, cucu, dan bahkan cicit mereka yang mengemban tugas melestarikan warisan tidak ternilai itu di kampung sawah.
Sebut saja Yepta Noron. Buyutnya adalah Tarub Noron, salah satu dari lima orang Betawi pertama yang memeluk Katholik pada 6 Oktober 1869. Selain itu masih ada Anton, si ketua panitia perayaan Natal Kampung Sawah, cicit dari Sem Napiun, umat perdana Kampung Sawah yang dibaptis 114 tahun silam bersama Natanael, Markus Ibrahim Kaiin, dan Yosef Baiin.
"Kami akhirnya menggunakan semacam marga bagi anak-anak kami agar warisan leluhur itu tidak dilupakan," kata Yepta, yang ketiga anaknya diberi nama akhir Noron, mengikuti buyutnya.
"Dengan begitu anak-anak kami nantinya diharapkan bisa mengikuti teladan para sepuh menjaga budaya dan iman mereka di Kampung Sawah," tegas Yepta.
Menghargai Kreatifitas Tuhan
Tetapi, bagi Yakobus Pepe (54), seorang sepuh umat Katholik Betawi Kampung Sawah, menjaga tradisi Gereja Katolik Betawi bukan hanya sekedar melindungi budaya tetapi juga membina kedamaian dan kerukunan di lingkungan yang majemuk.
"Kami di lingkungan Kampung Sawah ini terdiri dari tiga kelompok agama, ada yang Muslim, Katholik, dan Kristen Protestan. Kami hidup rukun tanpa masalah, bisa dikatakan kondusif," papar pria yang kerap disapa Yakob itu.
"Kerukunan yang kami jalani di Kampung Sawah juga warisan dari leluhur kami, bagaimana menjaga hubungan di antara saudara, menerima perbedaan, dan solidaritas yang kemudian mengikat setiap generasi," ujar Yakob yang akrab dengan peci hitamnya.
Yakob menceritakan bahwa kerukunan masyarakat di Kampung Sawah subur terjaga karena ikatan keluarga yang terjalin di antara satu sama lain.
"Dalam keluarga saya saja misalnya, ada yang memeluk agama Islam, ada yang Kristen Protestan, dan kita saling menghargai, memahami, dan bahkan membantu satu sama lain," utaranya lagi.
Misalnya, ia menjelaskan lagi, dalam perayaan Natal seperti ini sering terjadi parkiran gereja tidak lagi bisa menampung kendaraan dan akhirnya menggunakan pelataran Gereja Kristen Pasundan atau di pelataran Masjid Yayasan Fasibiliyah (YASFI) yang berjarak tidak jauh dari Gereja Kampung Sawah.
"Kami sangat senang dengan bantuan mereka dan mereka juga sangat gembira dilibatkan dalam acara seperti ini," kisah Yakob.
Hal itu juga diamini oleh Romo Antonius Soetanta SJ, yang sejak 1991 telah berkarya di Gereja Kampung Sawah sebagai pastor pembantu di Kampung Sawah.
"Ikatan keluarga di antara masyarakat Betawi di sini yang sangat membantu ketika ada masalah, karena kemudian menjadi mudah untuk dibicarakan dan dipecahkan," ujar pria berusia 72 tahun itu.
Selain itu ia juga menilai kerukunan masyarakat di tempat pelayanannya itu dipicu oleh karakter masyarakat Betawi yang nonkonfrontatif.
"Orang Betawi itu nonkonfrontatif, bisa bergaul dengan siapa saja, bisa menerima siapa saja dan dari latar belakang mana saja," kata pria yang pernah mengajar musik di Universitas Atmajaya Jakarta, Institut Kesenian Jakarta, dan Universitas Negeri Jakarta itu.
Karena karakternya itu, menurut Romo Soetanta, orang Betawi Kampung Sawah adalah mereka yang menghargai kreatifitas Tuhan.
"Orang Betawi di Kampung Sawah adalah mereka yang menghargai kreatifitas Tuhan, karena Tuhan telah menciptakan manusia yang beragam," pungkas Romo Soetanto.
(Ber/A038/ART)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010