Jakarta (ANTARA News) - Tiga tahun lalu, Ayu (16) hanyalah seorang gadis lugu dari sebuah desa di Gianyar, Bali yang mengadu nasib ke kota Denpasar, tanpa keahlian yang memadai selain merangkai janur dan buah untuk keperluan sembahyang.
Namun keberuntungan kini memihaknya setelah Ayu mengikuti kursus terapis spa di sebuah lembaga yang dimiliki oleh Jeni Widiyah.
Ayu kini bersama beberapa kawan seprofesinya menjadi tenaga kerja Indonesia dengan keahlian bidang terapis spa yang dikirim ke Rusia tanpa mengalami "pemerasan" di sana sini baik oleh agen di Indonesia maupun di luar negeri.
Setiap bulan, Ayu dan kawan-kawannya menerima gaji sedikitnya Rp10 juta belum termasuk tip yang diperoleh dari pelanggan, selain asrama dan jaminan keamanan baik dari perusahaan yang memperkerjakan mereka di Rusia maupun dari Kedutaan Besar RI di negara tersebut.
"Alumni dari lembaga kursus masih terus berkomunikasi dengan saya. Biasa melalui facebook, twitter atau email. Mereka selalu mngabarkan kondisinya, umumnya sudah betah bahkan banyak yang minta kursus lanjutan bila kelak pulang ke Bali," ujar Jeni yang mengaku tidak mengutip biaya sepeser pun untuk membantu pengurusan dokumen anak didiknya yang akan bekerja di luar negeri.
Jeni mengaku prihatin melihat banyak tenaga kerja Indonesia yang dipermainkan dari sebelum berangkat sampai mereka tiba di luar negeri masih terus dijerat dengan berbagai biaya-biaya.
"Silakan tanya langsung kepada alumni saya, apakah ada biaya yang kami kenakan sebagai jasa dari biaya pengurusan. Calon tenaga kerja yang memenuhi syarat sesuai dengan permintaan klien kami di luar negeri memang harus mengeluarkan biaya untuk pembuatan paspor, serta dokumen-dokumen lain termasuk biaya transportasi untuk pengurusan surat-surat, tetapi masih dalam batas wajar," katanya.
Jeni mengungkapkan, dirinya menolak menjalin kerja sama pemenuhan kebutuhan spa terapis yang dilakukan melalui perantara, baik di dalam negeri maupun di pihak asingnya.
"Biasanya kami berhubungan langsung dengan pihak hotel atau usaha spa di negara yang membutuhkan. Biasanya mereka sudah memiliki spesifikasi tenaga yang dibutuhkan, jika memenuhi syarat biasanya mereka langsung menyiapkan dokumen untuk memperlancar persiapan keberangkatan terapis kami," katanya.
Selama mengikuti pelatihan, peserta kursus baik yang berasal dari warga belajar pendidikan kesetaraan yang dikirim oleh Sanggar Kegiatan Belajar Dinas Dikpora maupun dari masyarakat umum memperoleh teori dan praktik terkait metode pemijatan untuk spa, pengenalan jenis-jenis ramuan untuk melakukan pemijatan serta pengetahuan dasar tentang anatomi tubuh.
"Jangan sampai asal-asalan memijat, salah-salah malah klien kami cedera karena pijatan yang kurang tepat. Seluruh terapis wajib menguasai teknik pemijatan yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Karena itu, setelah mendapatkan teori, peserta harus mempraktikkan dengan terus berlatih sehingga menjadi terapis yang handal," katanya.
Selain, teori dan praktik metode spa, peserta kursus juga wajib menguasai berbagai istilah seputar spa dalam Bahasa Inggris, ucapan salam (greeting), komunikasi sederhana dalam Bahasa Inggris. "Kami juga mengajarkan etiket berkomunikasi, seperti menyapa, mengucapkan terimakasih kepada pelanggan sekaligus memberikan koridor dalam melayani pelanggan", katanya.
Harga yang harus dibayar pelanggan untuk perawatan spa berkisar antara Rp100 ribu hingga ratusan ribu Rupiah. Karena, biaya layanan spa yang relatif mahal, maka pelayanan yang diberikan pun harus ekstra. "Pelanggan yang merasa senang tidak akan segan-segan memberikan tip kepada terapis, bahkan cenderung akan memilih orang yang sama untuk kedatangan berikutnya", kata Jeni.
"Karena itu, kami tidak bosan-bosan mengingatkan kepada terpis dan peserta kursus untuk berlatih secara tekun dan menguasai teori dan praktek secara baik, karena keahlian tersebut akan memberikan manfaat di kemudian hari," ujar jeni.
Tren Booming
Kisah Ayu dan kawan-kawannya hanya sekelumit kisah penyejuk rasa di saat gencarnya tentang pemberitaan ironis nasib para tenaga kerja wanita Indonesia yang diperlakukan secara kasar hingga harus kehilangan nyawa karena penyiksaan yang tidak henti oleh majikan di sejumlah negara terbesar penerima tenaga kerja Indonesia (TKI).
Wisata Spa saat ini menjadi salah satu tren terbaru bagi wisatawan yang berlibur di Bali dengan banyak pilihan layanan spa baik untuk kesehatan dan kecantikan. Peluang mengembangkan bisnis spa kemudian ditangkap secara jeli oleh Jeni Widiyah dengan mendirikan The Padmastana Spa Center.
Jeni tidak hanya sekadar mengandalkan bisnis pelayanan spa semata, namun usaha spa tersebut dibarengi dengan membuka kursus terapis spa yang peminatnya terus meningkat seiring dengan berkembangnya wisata spa di daerah tujuan wisata populer baik di dalam negeri maupun di luar negeri ini.
"Ratusan siswa sudah menjadi alumni lembaga kami, kalau dihitung-hitung bahkan sudah seribu lebih siswa pernah menerima pelatihan spa terapis dari lembaga pendidikan kami. Sebagian besar sudah bekerja di hotel-hotel dan resort yang tersebar di seluruh Bali, di kota-kota lain di Indonesia hingga ke luar negeri, antara lain India, Korea, Jepang, dan Maladewa," katanya.
Niat Jeni tidak semata-mata untuk mendapatkan untung dari biaya kursus yang diselenggarakannya, pemasukan dari usaha spa sesungguhnya sudah menguntungkan. Namun langkah Jeni memang didukung oleh Dinas Pendidikan Propinsi Bali khususnya Sub Bidang Pendidikan Non-Formal dan Informal (PNFI) yang selama ini menangani program pendidikan jalur non formal, antara lain kursus para profesi, pendidikan kesetaraan paket A, B dan C dan sebagainya.
"Saya ingin menjadikan tenaga kerja asal Bali tidak hanya sekadar tenaga kerja asal-asalan tetapi harus memiliki keahlian supaya dihargai dengan baik. Tidak selalu harus bekerja ke luar negeri, di dalam negeri pun dengan keahlian yang dimiliki minimal bisa memperoleh pendapatan yang memadai. Bahkan banyak alumni kami yang sudah bekerja mandiri dengan melayani permintaan dari rumah ke rumah," katanya.
Kepala Bidang PNFI Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, Made Mertanadi menyatakan, berbagai program pelatihan dan pendidikan yang diberikan kepada warga belajar dari program pendidikan kesetaraan biasanya disesuaikan dengan program yang dianjurkan pemerintah Provinsi Bali.
"Saat ini program yang dianjurkan adalah go green, sehingga program pelatihan diarahkan pada kewirausahaan desa/kota, antara lain pembuatan pupuk organik, pengolahan makanan dari hasil panen, termasuk diantaranya pelatihan spa terapis yang saat ini sedang `booming`di Bali, katanya.
Saat ini, ujar Mertanadi, sejumlah usaha spa sudah bekerja sama untuk menyelenggarakan kursus spa terapis karena memang permintaannya cukup tinggi.
"Kami ingin penguasaan teknik spa tidak asal-asalan saja, tetapi harus dipelajari secara benar sehingga peserta kursus benar-benar memahami teknik dan metode memijat dengan memahami anatomi tubuh", katanya.
Bali telah mendapat predikat sebagai destinasi wisata spa terbaik di dunia. Penghargaan tersebut diberikan oleh majalah Spa terkemuka `Senses` dari Jerman pada ajang Wellness Award 2009 di Berlin, Jerman.
Penghargaan tersebut merupakan hasil penilaian dari para pembaca majalah ini serta 200 pakar spa yang dilakukan secara tersembunyi untuk menjaga obyektivitas penilaian.
"Mengapa Indonesia? Sebab Indonesia mampu mempertahankan warisan budaya leluhur dikombinasikan dengan hasil riset terbaru," kata pimpinan Selected Hotel Promotion Inc. (organisasi pariwisata internasional ternama), Frank Pfaller,
Bali dinilai merupakan kawasan wisata Spa Bali terbaik karena mampu memelihara kebudayaan asli leluhur termasuk warisan raja-raja kuno. Bahkan terminologi khas Bali dalam kaitannya dengan spa seperti boreh dan lulur telah diakui secara internasional.
Ketua Asosiasi Spa Indonesia Mooryati Soedibyo menilai bahwa Bali meraih penghargaan spa terbaik dunia karena kemasannya menyatu dengan budaya warisan leluhur yang satu-satunya ada di dunia. Keunggulan itu menjadi daya tarik investor spa menarik spa terapis dari Indonesia untuk bekerja di spa di belahan dunia lainnya.
(Z003/Z002)
Oleh Zita Meirina
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010