Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati (OR IPH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amir Hamidy mengatakan kemungkinan besar laju kerusakan atau kehilangan keanekaragaman hayati atau biodiversitas lebih cepat dibanding penemuan spesies baru.

"Saya itu hanya kuatir hilangnya hutan kita sebegitu masifnya, mengakibatkan kita kehilangan spesies-spesies yang bahkan belum kita ketahui," kata Amir saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.

Ia menuturkan masifnya perubahan atau alih fungsi hutan menjadi, misalnya lahan pertanian dan lahan tambang menyebabkan laju hilangnya keanekaragaman hayati semakin meningkat.

"Apalagi kalau nanti spesiesnya belum diberi nama, sudah punah duluan," ujar peneliti herpetologi itu.

Baca juga: Komisi IV DPR RI menaruh atensi pada konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

Baca juga: Pakar: Generasi muda dapat berperan dalam perhutanan sosial

Amir mengatakan hilangnya keanekaragaman hayati bukan hanya terkait spesies-spesies karismatik seperti gajah dan harimau, tapi juga spesies-spesies kecil yang sesungguhnya jauh lebih rentan untuk kehilangan habitat dan mengalami kepunahan seperti katak kecil bermulut sempit yang hanya bergerak di area yang lebih terbatas.

Kehilangan keanekaragaman hayati itu antara lain punahnya spesies yang sudah teridentifikasi atau yang belum diketahui sama sekali, dan belum sempat mengeksplorasi potensi yang dimiliki spesies tersebut untuk keberlanjutan lingkungan dan pemanfaatan hayati atau bioprospeksi.

"Harus dijaga jangan sampai jenis yang belum diketahui, belum dinamai, belum diketahui potensinya itu sudah punah duluan," tutur Amir.

Ia mengatakan penambahan jenis baru terus bertambah dari waktu ke waktu di alam, sehingga perlu percepatan identifikasi spesies tersebut.

Namun sayangnya, perusakan dan alih fungsi hutan lebih cepat terjadi sehingga lebih banyak kekayaan hayati yang hilang. Itu mengkhawatirkan karena spesies-spesies baru bisa saja lebih dulu punah sebelum teridentifikasi.

Menurut Amir, di antara hewan vertebrata atau hewan bertulang belakang, amfibi adalah salah satu hewan yang penemuan jenis barunya secara global naik terus, tetapi memang identifikasi spesies harus berpacu dengan laju kerusakan keanekaragaman hayati atau biodiversity loss.

Amfibi juga sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Ketika suhu turun atau naik satu atau dua derajat karena perubahan iklim, itu bisa sangat mempengaruhi metabolisme amfibi, sehingga laju kepunahan amfibi mungkin saja lebih besar daripada laju penemuan jenis baru amfibi.

Di samping itu, kerusakan atau pencemaran terhadap habitat spesies akan mempengaruhi daya hidup spesies tersebut. Sebagai contoh, berudu yang hidup di air sangat rentan sekali terhadap perubahan kelembapan suhu dan kondisi air serta oksigen di dalamnya, sehingga jika airnya kena polusi, maka berudu tidak dapat berkembang baik dan terancam mati.

Untuk itu, habitat spesies juga harus dilindungi untuk keberlangsungan hidupnya. Pembangunan yang dilakukan manusia juga hendaknya mempertimbangkan aspek ekologis dan kelestarian makhluk hidup sehingga ada unsur keberlanjutan dan memberikan kesempatan kepada spesies untuk tetap hidup, berinteraksi dan beradaptasi di dalamnya.*

Baca juga: Indonesia berkomitmen dukung pembiayaan untuk lingkungan dan iklim

Baca juga: LIPI: Kuasai teknologi konservasi dan keanekaragaman hayati

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021