Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berulang kali mengingatkan kepada penyelenggara negara untuk patuh menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Kepatuhan LHKPN juga dapat dijadikan indikator sebagai langkah awal pencegahan korupsi.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan ada tiga tujuan agar penyelenggara negara patuh melaporkan harta kekayaannya.
Pertama, untuk mengendalikan diri agar terhindar dari praktik-praktik korupsi. Kedua, sebagai pertanggungjawaban kepada publik. Ketiga, memiliki komitmen untuk memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebagaimana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) mewajibkan penyelenggara negara untuk bersedia melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat, juga diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Sementara sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat 1 (a) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN.
Baca juga: KPK lakukan 135 sosialisasi peraturan LHKPN ke penyelenggara negara
Tidak rumit
KPK menyatakan penyampaian LHPKN secara daring tidak rumit.
Sejak tahun 2017, KPK memang tidak lagi menyediakan formulir cetak untuk LHKPN. Sebagai gantinya, KPK meluncurkan aplikasi pelaporan kekayaan secara daring atau dikenal dengan e-LHKPN yang dapat diakses melalui situs www.elhkpn.kpk.go.id.
Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan dengan aplikasi tersebut memungkinkan bagi para penyelenggara negara atau wajib lapor untuk melakukan pengisian dan penyampaian laporan kekayaannya secara elektronik kapan saja dan dari mana saja.
Ia menjelaskan ada empat proses pada e-LHKPN yang perlu dilakukan oleh wajib lapor untuk dapat mengisi dan menyampaikan LHKPN hingga kemudian dipublikasikan, yaitu e-Registration, e-Filing, e-Verification, dan e-Announcement. Bagi penyelenggara negara/wajib lapor yang baru pertama kali menyampaikan LHKPN secara daring harus memiliki akun dan telah diaktivasi terlebih dahulu.
Pada tahap e-Registration dilakukan proses pendataan dan pendaftaran oleh pengelola unit LHKPN (UPL) yang terdapat di instansi masing-masing. Pengelola UPL atau admin instansi biasanya melakukan pendataan pada Oktober hingga Desember tahun sebelumnya.
Adapun pengelola UPL atau admin instansi ditunjuk oleh pimpinan tertinggi berdasarkan surat keputusan (SK). Tugasnya antara lain mengelola dan melengkapi master data jabatan dan juga mengelola data penyelenggara negara/wajib lapor yang meliputi penambahan, pengurangan serta penonaktifan, pembuatan, dan aktivasi akun penyelenggara negara/wajib lapor serta monitoring kepatuhan instansi.
Ia mengatakan dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, pengelola UPL atau admin instansi berkoordinasi kepada KPK.
Tahap selanjutnya adalah e-Filling, yaitu pengisian dan penyampaian LHKPN yang dilakukan secara online pada menu e-Filing pada aplikasi e-LHKPN dengan mengikuti petunjuk yang telah disediakan.
Penyelenggara negara/wajib lapor dapat menggunakan aplikasi e-LHKPN setelah mendapatkan akun e-Filing. Tata cara untuk mendapatkan akun e-Filing adalah yang pertama penyelenggra negara/wajib lapor mengisi formulir permohonan aktivasi e-Filing LHKPN yang dapat diunduh di aplikasi e-LHKPN dan selanjutnya menyerahkan formulir tersebut dilengkapi dengan fotocopy KTP ke UPL di instansi masing-masing.
UPL kemudian mengecek ketersediaan data penyelenggara negara/wajib lapor di aplikasi e-LHKPN. Jika belum terdaftar maka UPL dapat menambahkan datanya dan membuatkan akun e-Filing. Jika sudah pernah terdaftar tetapi statusnya belum online maka UPL dapat mengaktivasi akun e-Filing penyelenggara negara/wajib lapor tersebut.
Selanjutnya, penyelenggara negara/wajib lapor akan menerima email aktivasi yang berisi "username" dan "password". Penyelenggara negara/wajib lapor harus membuka tautan yang ada di email tersebut untuk mengaktifkan akun.
Penyelenggara negara/wajib lapor kemudian akan diarahkan ke aplikasi e-LHKPN untuk melakukan "login" menggunakan "username" dan "password" yang tercantum pada email aktivasi dan diminta untuk mengganti "password". Setelah melakukan semua proses tersebut, penyelenggara negara/wajib laor dapat melakukan pengisian LHKPN dengan memilih tombol e-Filing.
Setelah penyelenggara negara/wajib lapor melakukan proses e-Filling, tim verifikasi LHKPN akan melakukan proses verifikasi dan validasi data harta kekayaan penyelenggara negara/wajib lapor.
Ipi menjelaskan proses verifikasi meliputi pengecekan data harta dan kelengkapan dokumen pendukung, yaitu berupa surat kuasa sebagaimana lampiran 4 yang wajib ditandatangani di atas materai oleh penyelenggara negara/wajib lapor dan keluarga untuk dikirimkan ke KPK.
Tahap terakhir adalah e-Announcement. LHKPN yang sudah diverifikasi oleh KPK akan diumumkan dan dapat dicek pada menu e-Announcement di situs www.elhkpn.kpk.go.id.
Menurut Ipi, prosesnya menjadi lebih mudah bagi penyelenggara negara/wajib lapor yang telah tercatat sebagai wajib lapor periodik yang wajib melakukan pelaporan kekayaan secara berkala setiap tahunnya paling lambat pada 31 Maret tahun pelaporan dengan posisi harta per 31 Desember tahun sebelumnya.
Ia mengatakan waktu yang dibutuhkan relatif singkat mengingat wajib lapor cukup melakukan pengkinian data kekayaannya melalui aplikasi e-LHKPN untuk kurun waktu satu tahun terakhir. Jika tidak ada perubahan maka penyelenggaa negara/wajib lapor cukup mengklik tombol yang mengonfirmasi data sebelumnya.
Kendati demikian, KPK juga menyadari untuk sebagian penyelenggara negara yang baru menduduki jabatan publik, khususnya yang berlatar belakang swasta mungkin memiliki kendala dalam pengisian LHKPN untuk pertama kalinya.
Oleh karena itu, KPK membuka kesempatan untuk pendampingan maupun memberikan sosialisasi dan bimbingan teknis (bimtek) berdasarkan permintaan.
Sosialisasi dan bimtek dapat dilakukan baik kepada para penyelenggara negara/wajib lapor secara langsung maupun kepada tim pengelola UPL di instansi-instansi yang kemudian akan melakukan sosialisasi kepada penyelenggara negara/wajib lapor di lingkungan instansinya.
Baca juga: KPK minta Ganjar memotivasi kepala daerah se-Indonesia terkait LHKPN
135 sosialisasi
Untuk tahun ini sampai dengan 31 Juli 2021, KPK juga telah melakukan 135 kegiatan sosialisasi terkait peraturan LHKPN dan bimtek penggunaan aplikasi e-Registration dan e-Filling LHKPN kepada tim UPL maupun kepada penyelenggara negara/wajib lapor secara langsung. Kegiatan tersebut berlangsung secara tatap muka maupun daring.
Untuk membantu penyelenggara negara/wajib laor memahami setiap proses penyampaian LHKPN, KPK juga menyediakan panduan pengisian LHKPN yang dapat diunduh pada situs www.elhkpn.kpk.go.id.
Jika masih mengalami kesulitan, KPK juga selalu terbuka untuk melakukan konsultasi dan asistensi dengan menghubungi kami melalui nomor telepon 198 atau email elhkpn@kpk.go.id.
Selain itu, melalui Peraturan Komisi Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, penyelenggara negara/wajib lapor tidak perlu melampirkan salinan dokumen kepemilikan harta kekayaan pada lembaga keuangan dan cukup satu kali melampirkan surat kuasa.
Ipi mengatakan dengan kemudahan-kemudahan tersebut serta asistensi dan bimtek yang diberikan oleh KPK, tidak ada alasan bagi penyelenggara negara/wajib lapor untuk tidak memenuhi kewajibannya secara periodik dan tepat waktu.
Oleh karena itu, KPK pun mengimbau kepada penyelenggara negara baik di bidang eksekutif, yudikatif, legislatif maupun BUMN/D yang belum menyampaikan laporan kekayaannya agar segera memenuhi kewajibannya.
Baca juga: Erick akan terbitkan peraturan wajibkan pelaporan LHKPN anak cucu BUMN
Tingkat kepatuhan LHKPN
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan juga telah memaparkan tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN nasional pada 2020, yaitu 96,7 persen dengan rincian eksekutif 96,81 persen, legislatif 90,54 persen, yudikatif 98,52 persen, dan BUMN/D 98,38 persen.
Menurut Pahala, kepatuhan pelaporan secara nasional memang meningkat tetapi terjadi penurunan dari kepatuhan anggota legislatif karena pada 2019 saat dilakukan pemilihan legislatif (pileg) seluruh anggota legislatif di DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota taat menyerahkan LHKPN.
Kepatuhan penyerahan LHKPN nasional pada 2019 sebesar 96,3 persen dengan rincian eksekutif (96,08 persen), legislatif (100 persen), yudikatif (98,11 persen), dan BUMN/D (98,17 persen).
Untuk kepatuhan LHKPN nasional 2020, bidang yudikatif hanya untuk dua lembaga, yaitu Mahkamah Agung (MA) yang membawahi sekitar 8 ribu hakim dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Selanjutnya di bidang eksekutif, ada 21 kementerian yang sudah melaporkan 100 persen LHKPN dari para pejabat yang wajib lapor, namun masih ada 12 kementerian yang kepatuhannya 75-99 persen dan hanya satu kementerian di bawah 75 persen.
Untuk legislatif rinciannya MPR 90 persen, DPR 55 persen, DPD 88 persen, DPRD provinsi 86 persen, dan DPRD kabupaten/kota 91 persen.
Kemudian, lembaga non-kementerian ada 46 lembaga yang sudah patuh 100 persen, sebanyak 16 lembaga kepatuhannya 75-99 persen, sembilan lembaga kepatuhannya 50-75 persen, dan satu lembaga kepatuhannya di bawah 50 persen.
Data yang dimiliki KPK menunjukkan pada 2020, penyelenggara negara dan wajib menyerahkan LHKPN berusia kurang dari 40 tahun ada 98 persen, yang berusia 40-60 tahun ada 86 persen dan berusia lebih dari 60 tahun sebesar 85 persen.
Hal tersebut berbeda dari data 2019 yang menunjukkan penyelenggara negara yang wajib lapor harta kekayaan dan berusia kurang dari 40 tahun hanya 81 persen, sedangkan yang berusia 40-60 tahun sebanyak 97 persen dan yang berusia lebih dari 60 tahun sebesar 90 persen.
Pahala menyatakan kondisi tersebut sangat menjanjikan karena wajib lapor berusia di bawah 40 tahun baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif patuh LHKPN.
Sedangkan untuk BUMN/D, Pahala mengakui data KPK belum sempurna karena informasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ada sekitar 1.000 BUMD di Indonesia tetapi yang menyampaikan LHKPN ke KPK tidak sampai 100 BUMD.
"Karena banyak juga pemerintah kabupaten/kota juga bisa mendirikan BUMD, jadi banyak juga BUMD yang tidak aktif sementara untuk BUMN, ada kurang dari 10 BUMN yang belum 100 persen lapor LHKPN," kata Pahala.
Data kepatuhan LHKPN untuk BUMN adalah ada 70 BUMN sudah seluruhnya penyelenggara negara yang wajib lapor menyerahkan LHKPN (100 persen), 42 BUMN sudah lapor 75-99 persen, enam BUMN lapor 50-75 persen, satu BUMN lapor 25-50 persen, dan dua BUMN laporannya di bawah 25 persen.
Sebagai salah satu instrumen penting dalam pencegahan korupsi, LHKPN mengedepankan asas transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran dari para penyelenggara negara sehingga KPK meminta penyelenggara negara untuk menyampaikan harta kekayaannya tidak hanya tepat waktu tetapi juga secara benar, jujur, dan lengkap.
Selain itu, KPK juga mendorong peran aktif masyarakat dalam mengawasi harta kekayaan para pejabat publik dengan memanfaatkan informasi yang tersedia pada situs www.elhkpn.kpk.go.id.
Dengan demikian, sudah sepatutnya penyelenggara negara agar patuh menyampaikan LHKPN sebagai pertanggungjawaban publik, mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, dan menumbuhkan integritas.
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021