Jakarta (ANTARA News) - Apa yang membuat manusia survive? menurut mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Soeharto, Daoed Joesoef, jawabannya adalah pengetahuan.
"Yang membuat manusia survive itu adalah pengetahuannya," Kata Daoed Joesoef dalam kuliah umum bertajuk “majus ke-n dan kaitannya dengan pemelajaran ilmu pengetahuan” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,Jakarta.
Menurutnya setiap manusia lahir memiliki otak tapi belum tentu memiliki akal."Dan perbedaan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan diperoleh dari pengalaman yang digeneralisir sementara ilmu pengetahuan itu mendahului pengalaman. Pengetahuan yang baru adalah ilmu dan satu-satunya modal untuk membangun ilmu pengetahuan adalah kampus,"ujarnya.
Ia mengatakan bahwa harus ada tempat permagangan bagi para calon enterpreneur selain harus ada link and match antara dunia kampus dan industri.
Dia mencontohkan Jerman. Di negara tersebut, jika ada investasi yang hendak membangun alat industri, pihak yang dihubungi pertama kali adalah pihak kampus yang akan memenuhi tahapan dan pemenuhan tenaga ahli.
"Hal ini justru tidak terjadi di Indonesia dan itu mengakibatkan kampus hanya mencetak lulusan saja dan tidak sesuai dengan kebutuhan industri," kata Daoed.
Empat hal yang menentukan pola pikir masyarakat yaitu adanya empirical fact (fakta empiris), pengertian mitologis dan religis, iserta deologi politik yang ketiganya bersifat memecahkan masalah. "Yang keempat adalah scientific generalization (generalisasi ilmu pengetahuan) di mana jika mau hidup terang maka harus banyak memasukkan masyarakat yang dilatih secara ilmiah." ujarnya.
"Oleh karena itu pendidikan penting dalam kehidupan," katanya.
Daoed juga mengungkapkan bahwa tradisi pembentukan bangsa Indonesia dilandasi oleh dasar ilmu pengetahuan. "Nama Indonesia itu diperoleh berdasarkan penelusuran etnologi oleh bangsa Eropa yang menyebut Indos nesos yaitu sebutan untuk orang yang mendiami daratan pulau atau kepulauan," kata Daoed.
"Hal itu berbeda dengan bangsa Filipina yang namanya diperoleh dari nama raja Spanyol bernama Philip, tidak berlandaskan dasar ilmiah atau ilmu pengetahuan," kata Daoed. Dia juga mengatakan "kita membentuk bangsa bukan berdasarkan suatu etnik melainkan kemauan hidup bersama atas nama Indonesia. Boleh saja bilang orang Aceh tetapi tidak boleh menyebut rakyat Aceh," katanya.
(yud/A038/BRT)
Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010