Singapura (ANTARA) - Dolar memulai minggu yang penuh dengan data ekonomi besar pada Senin pagi dengan pijakan yang kuat, ketika investor berhati-hari terhadap Federal Reserve yang mulai keluar dari kebijakan sangat mendukung (super-supportive) bahkan ketika kasus virus corona kembali melonjak.
Greenback menutup minggu terbaiknya dalam tiga pekan pada Jumat (10/9/2021), menguat sekitar 0,6 persen terhadap euro karena diuntungkan dari aliran dana yang mencari aset aman dan prospek kebijakan yang mengangkat imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Dolar mempertahankan kenaikan di awal sesi Asia dengan mempertahankan mata uang bersama 1,1810 dolar. Dolar juga stabil di 109,91 yen Jepang, sementara kekuatannya untuk saat ini telah menghalangi reli dolar Australia dan Selandia Baru.
Pada perdagangan pagi, dolar Australia sedikit menguat di 0,7362 dolar AS, tetapi telah berjuang untuk tetap di atas 0,74 dolar AS. Kiwi sedikit lebih lemah di 0,7115 dolar AS tetapi juga berjuang untuk keluar dari kisaran berbulan-bulan itu meskipun bank sentral, Reserve Bank of New Zealand, bersiap menaikkan suku bunga.
“Beberapa dinamika mendukung dolar,” kata Rodrigo Catril, ahli strategi mata uang senior di National Australia Bank di Sydney, terutama penghindaran risiko, ketika negara-negara yang divaksinasi seperti Singapura dan Inggris mencatat lonjakan kasus COVID-19.
"Pembukaan kembali masih menghadapi tantangan dari konsumen, yang berhati-hati dan dari kemacetan yang membatasi kemampuan ekonomi untuk pulih dengan semangat," katanya.
“Pada saat yang sama, meningkatnya infeksi menunjukkan bahwa kita mungkin masih perlu memperkenalkan kembali semacam pembatasan. Hal lain adalah bahwa Fed terus memberi sinyal bahwa tapering akan datang.”
Data harga konsumen AS pada Selasa (14/9/2021) diperkirakan menunjukkan inflasi inti sedikit berkurang menjadi 4,2 persen.
Namun, dengan Presiden Fed Philadelphia Patrick Harker, dalam wawancara dengan Nikkei pada Senin, bergabung dengan paduan suara pembuat kebijakan yang ingin mulai mengurangi pembelian aset, pedagang obligasi tampaknya berpikir perlambatan tidak akan cukup untuk menunda pengurangan pembelian aset.
Obligasi AS 10-tahun dijual untuk minggu ketiga berturut-turut minggu lalu - rekor terpanjang sejak imbal hasil melonjak lebih tinggi pada Februari dan Maret - mengangkat imbal hasil obligasi 10-tahun menjadi 1,3462 persen.
"Perkiraan dasar saya masih memiliki inflasi sekitar 4 persen tahun ini, berakhir tahun ini, dan kemudian mulai turun kembali ke 2 persen selama tahun 2022 dan 2023. Namun, saya melihat peningkatan risiko bahwa inflasi dapat berjalan lebih tinggi," kata Harker kepada Nikkei.
“Saya ingin proses tapering segera dimulai, agar proses tapering bisa kita selesaikan, jadi kalau kita perlu menaikkan kebijakan suku bunga, kita punya ruang untuk itu. Dan saya pikir kita perlu membeli sendiri opsi itu.”
Juga di depan dalam kalender adalah data ekonomi China, yang kemungkinan akan menyoroti penjualan ritel yang goyah pada Rabu (15/9/2021) dan selanjutnya menambah kekhawatiran tentang ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Yuan stabil di 6,4424 per dolar dalam perdagangan luar negeri. Di tempat lain, sterling bertahan di 1,3834 dolar dan uang kripto Bitcoin dan Ether secara umum stabil, dengan Bitcoin sekitar 46.000 dolar.
Baca juga: Rupiah Senin pagi melemah 37 poin
Baca juga: IHSG Senin dibuka melemah 14,81 poin
Baca juga: Minyak naik ke tertinggi satu minggu di tengah kekhawatiran pasokan AS
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021