Amlapura (ANTARA News) - Tradisi "mejaga-jaga" yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pasedahan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, merupakan salah satu ritual untuk menangkal bencana di tengah cuaca buruk saat ini.
"Ritual itu kami lakukan bertepatan bulan ketujuh atau saat `purnama kapitu`," kata Jro Mangku Gede Nengah Sujati, salah seorang pemimpin agama di Pura Rambut Petung, Desa Pasedahan, Selasa.
Menurut dia, tradisi ritual "Mejaga-jaga" adalah simbol menajamkan kesadaran kepada Tuhan, untuk mohon perlindungan agar tidak tertimpa musibah.
"`Sasih kapitu` atau bulan ketujuh saat ini dikenal sebagai masa pembawa penyakit atau panca roba, seperti cuaca buruk angin kencang, hujan deras, mendung dan pergantian cuaca yang dapat memicu berbagai bencana alam seperti banjir, longsor dan angin puyuh," katanya.
Selain itu, kata Jero Mangku Nengah Sujati, upacara bulan ketujuh yang sudah dilaksanakan Senin (20/12), dilakukan juga untuk mengingatkan "krama" atau warga agar waspada dan berjaga-jaga terhadap perubahan alam.
Selama ini, jelasnya, warga Pasedahan sangat meyakini dan masih melestarikan tradisi mejaga-jaga sebagai bentuk berjaga-jaga dengan memasang duri untuk menangkal aura negatif yang dibawa sebagai pengaruh bulan ketujuh.
Ia mengatakan, ritual itu dilakukan masyarakat Pasedahan dengan menghaturkan sesajen di Pura Rambut Petung.
Ritual semacam itu juga dilakukan di Pura Gedong atau Melanting sebagai simbol Dewi kemakmuran yang dipuja pada area pasar desa.
"Setelah usai menghaturkan upacara di pura, krama melanjutkan prosesi ritual di rumah masing-masing," jelasnya.
Ritual di rumah itu yang dikenal dengan sebutan "muu-uu" dilakukan dengan membakar duri di pintu masuk menuju pekarangan rumah.
Setelah prosesi tersebut dilewati, kata Jero Mangku, sore harinya dilaksanakan upacara di Catus Pata atau perempatan jalan.
Kata dia, ritual itu ditandai dengan membawa "Sanggah Cukcuk" atau sarana persembahan ritual untuk menetralisasi kekuatan buta agar tidak mengganggu manusia, sekaligus memohon perlindungan bagi manusia atas kekuatan dewata.
"Sanggah Cukcuk setelah itu dibawa pulang kembali, kemudian ditempatkan pada sisi kanan pintu utama masuk rumah," ujarnya.
Menurut Jero Mangku Dalem Ketut Sumantara, selama satu bulan setiap hari atau lima hari sekali pada Sanggah Cukcuk dihaturkan sesajen serta canang sari.
"Tepat pada datangnya upacara `Usabha Dalem` saat inilah `Sanggah Cukcuk` tersebut dibakar sebagai simbol saktinya Dewa Siwa yang menganugerahkan kesejahteraan bagi umat," jelasnya.
(ANT199/T007/A038)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010