Jakarta (ANTARA News) - "Kalau ditanya apa ada penyimpangan? Ya. Apa penyimpangan itu melanggar hukum?"

Pertanyaan tersebut dilontarkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan, Chandra M Hamzah, dalam rapat bersama Tim Pengawas (Timwas) kasus Bank Century, di Gedung "Kura-kura" DPR, Jakarta, Rabu (24/11). Dan tidak ada jawaban dari anggota dewan yang hadir kala itu atas pertanyaan tersebut.

Pertanyaan yang sebenarnya merupakan argumen dari Chandra tersebut menjawab rentetan pertanyaan-pertanyaan tajam yang diajukan para anggota Timwas karena terpicu laporan Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin bahwa KPK belum menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Century.

Walaupun lembaga antikorupsi ini telah melimpahkan 12 laporan hasil penyelidikan, diantaranya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pemberian fasilitas "Letter of Credit" (LC) fiktif senilai 22,5 juta dolar AS kepada PT Selalang Prima Internasional milik politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Misbakhun yang merupakan anggota Komisi VI DPR RI kepada Bareskrim Mabes Polri, hal tersebut belum dianggap prestasi oleh Timwas.

Anggota DPR dari Fraksi Hanura, Akbar Faizal menilai laporan KPK tersebut kontradiktif dengan hasil penyidikan yang dilakukan kepolisian yang menyatakan telah menemukan adanya indikasi penyimpangan dan perbuatan melawan hukum.

Seperti argumen Chandra di atas, bahwa KPK mengetahui telah terjadi penyimpangan atas "bail out" Bank Century, namun tidak dapat mengatakan telah terjadi tindak pidana. Dikatakannya bahwa Undang-Undang (UU) Bank Indonesia (BI) tidak mengizinkan pejabat-pejabatnya tersentuh sanksi atas kebijakan yang telah diambil, sekalipun kebijakan tersebut merugikan keuangan negara.

Sementara jika disangkakan dengan pasal-pasal 2 atau 3 UU Tindak Pidana Korupsi, Chandra mengatakan hingga saat ini KPK belum menemukan adanya unsur melanggar hukum dan kesengajaan, atau dalam bahasa hukumnya dikenal dengan "mensrea".

"Mensrea atau niat jahat itu pengadilan yang membuktikan bukan KPK. Sementara unsur tindak pidana korupsi cukup perbuatan melawan hukum, merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri atau orang lain," kata anggota Timwas dari Partai Golkar, Chairuman Harahap, saat itu.

Anggota Timwas lainnya dari Partai PDI Perjuangan Gayus Lumbun juga mengatakan bahwa KPK tidak perlu mencari "mensrea" karena jaksa-jaksa pun tidak pernah mendakwakan sesuatu menunggu "mensrea", cukup dengan dua pasal saja sudah cukup menyeret seseorang ke meja hijau.

Jalan buntu

KPK telah memintai keterangan 96 orang saksi, melakukan analisis dan evaluasi terhadap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan adanya penyimpangan dalam proses akuisisi, merger, pengawasan yang lemah dari BI terhadap Bank Century yang sekarang berganti nama menjadi Bank Mutiara.

KPK juga telah menindaklanjuti rekomendasi Pansus "Bail out" Bank Century, termasuk juga menganalisis dan mengevaluasi bagaimana kewenangan KK dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dalam proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, bagaimana keputusan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dilakukan, hingga bagaimana Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menangani Bank Century pascakeputusan pemberian FPJP. Namun tetap tidak ditemukan dugaan tindak pidana korupsi.

Sulitnya KPK menemukan bukti tindak pidana korupsi dalam kasus "bailout" Bank Century salah satunya karena terganjal masalah ketidakhadiran saksi-saksi kunci terkait kasus tersebut.

Mantan Deputi Bank Indonesia Siti Fadjriah yang dikabarkan terkena stroke merupakan salah satu saksi kunci selain Rafat Ali Rizvi, Hesam Al Waraq, Muhammad Arif Khan, Dewi Tantular, Hartawan Aluwi, Anton Tantular, Rudi Soraya, Imam Maliki, Irhamsyah, dan Antonius Budi Gunawan yang tidak diketahui keberadaannya hingga kini.

"Tanpa keterangan dari mereka kami sulit mendapatkan bukti-bukti yang cukup untuk mengungkap fakta yang terjadi dalam kasus Bank Century," ujar M Jasin dalam rapat bersama Timwas.

Chandra M Hamzah, usai rapat bersama Timwas, dalam perbincangan santai dengan beberapa wartawan kembali mengatakan bahwa penting sekali mengetahui apakah ada niat jahat dalam setiap pengambilan keputusan "bail out" tersebut.

Namun hingga kini KPK belum menemukan bukti adanya "mensrea", termasuk apa niat dibalik kehadiran Robert Tantular pada dini hari tanggal 21 November 2008 di Departemen Keuangan tempat diadakannya rapat KSSK dengan Bank Indonesia yang memutuskan status Bank Century merupakan bank gagal berdampak sistemik.

Mantan Wakil Ketua KPK, Erry Riana Hardjapamekas mengatakan apa yang disampaikan Chandra M Hamzah merupakan hal paling berdasar, kecuali hasil audit investigatif atas aliran dana menghasilkan fakta adanya hubungan antara aliran dana dan pelaksanaan pengawasan dan atau niat jahat.

Walau tidak mudah namun tampaknya banyak yang masih mengharapkan bahwa KPK tidak menyerah untuk menyelesaikan cerita dari kasus Bank Century hingga akhir, tidak "menggantung" seperti saat ini.

Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruptions Watch (ICW), Febri Diansyah meminta KPK tidak berhenti menelusuri dugaan niat jahat dibalik kebijakan "bail out" Bank Century.

Audit forensik

Indonesia pun pernah mengalami kasus perbankan yang kemudian menjadi "X File" di mana uang negara dalam jumlah yang lebih besar mencapai ratusan triliun rupiah "kocar-kacir" karena melibatkan banyak bank dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pengawasan BI yang lemah saat itu disebutkan menjadi biang kerok yang menyebabkan kredit macet.

Audit forensik juga pernah dilakukan juga dalam kasus Bank Bali (Baligate). Erry Riana dalam tulisannya dalam salah satu majalah politik nasional kala itu menyebutkan skandal Bank Bali memperlihatkan gejala baru yang mencemaskan, yaitu penyelewengan kekuasaan yang menghasilkan korupsi dan kejahatan kerah putih.

Ia mengatakan hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan praktik-praktik rekayasa lalu lintas finansial, dengan mempergunakan lembaga perbankan sebagai institusi mediasinya. Pembedahan terhadap kasus ini akan berhadapan dengan kompleksitas tertutupnya wilayah perbankan yang memang dilindungi UU.

Padahal, menurut dia, anasir-anasir pelaku korupsi justru menggunakan perbankan semata-mata untuk menghilangkan jejak kejahatannya.

Dalam kaitannya dengan "bail out" Bank Century, Erry sebenarnya telah menyarankan agar segera dilakukan audit forensik setelah Pansus "bail out" Bank Century gagal menemukan tindak pidana. Audit tersebut harus dapat mengungkap kemana aliran uang sebelum terjadinya "bail out" dan sesudahnya.

Audit forensik pun baiknya dilakukan oleh akuntan publik besar, karena lebih cenderung terbebas dari desakan pihak-pihak tertentu.

Febri Diansyah pun menyatakan ICW mendukung audit forensik kasus "bail out" Bank Century, karena jika hasilnya terbukti terdapat aliran-aliran tidak jelas ke rekening pejabat pengambil kebijakan tentu akan sangat membantu kerja KPK.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan audit forensik dilaksanakan sesuai permintaan dewan, dan pemilihan auditor akan diserahkan pada LPS. Untuk itu selayaknya hasil audit nanti dipercayai semua pihak karena yang melakukannya akuntan publik yang independen.

"Siapa pun dapat menggunakan hasil audit tersebut, apakah kepolisian atau KPK. Hasil audit pun dapat menjadi bukti hukum," ujar Patrialis.

Kepala Eksekutif LPS, Firdaus Djaelani memperkirakan bahwa audit forensik Bank Century tersebut akan menelan biaya antara dua hingga 10 juta dolar AS.

Angka yang tidak sedikit memang. Namun, menurut Patrialis Akbar, harga tersebut cukup pantas demi menyelesaikan polemik yang masih berkembang dalam masyarakat, siapa yang harus bertanggung jawab atas kebijakan yang berujung pada kerugian negara tersebut.

Semua bisa dihukum

"Sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan risiko sistemik atau tidak karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang dapat diukur hanyalah perkiraan atau biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan," ujar Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia pada detik-detik ditetapkannya Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Meski mayoritas peserta rapat KSSK dengan Bank Indonesia saat itu tidak setuju untuk menyelamatkan Bank Century karena alasan BI dianggap tidak dapat mengukur dampak sistemik, namun toh penyelamatan itu tetap berjalan.

Ketidakjujuran BI dalam menyampaikan apa adanya informasi terkait Bank Century cukup menyakitkan, dan semakin memicu pertanyaan tak berujung. Ada siapa dibalik "bail out" Bank Century?

Total Rp6,762 triliun uang negara yang merupakan uang rakyat mengalir ke bank milik Robert Tantular dan dua kolega asingnya, Rafat Ali Rizfi dan Hesyam Al Waraq, yang semuanya telah divonis bersalah "merampok" banknya sendiri.

Meski menghadapi jalan buntu, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Bibit Samad Riyanto menegaskan lembaga antikorupsi belum berniat berhenti menyelidiki kasus Bank Century.

Ia berujar bahwa siapa pun dapat dijerat. Asalkan terbukti melakukan tindak pidana, siapa pun dapat dijerat hukum, tidak terkecuali para pejabat yang telah mengambil keputusan dalam kebijakan "bail out" Bank Century.

Erry Riana pun setuju dengan pernyataan tersebut. "Pak Bibit dan Pak Jasin tentu tidak salah, siapa pun dapat dijeratapabila ditemukan bukti adanya tindakan yang melanggar hukum, dan nyata-nyata mengakibatkan keuntungan bagi para pejabat tertentu atau orang lain, atau korporasi, serta unsur-unsur lainnya sesuai dengan UU yang berlaku. Masalahnya terletak pada proses pembuktian".

Mantan Mensesneg, Moerdiono, terkait dalam kasus BLBI, pernah memberikan keterangan bahwa Kabinet Pembangunan di masa lampau bekerja erat satu sama lain. Ia pun yakin bahwa kebijakan pemberian BLBI adalah suatu kebijakan yang benar dan dalam hal ini perlu dibedakan antara tataran kebijakan dan tataran pelaksanaan.

Jika secara kebijakan terjadi kesalahan, menurut dia, yang dihukum adalah pemerintah dengan hukuman politik.

Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa dalam pelaksanaan kebijakan, bisa saja terjadi kesalahan. Namun itu semua harus diukur dengan aturan-aturan dan kriteria-kriteria yang mestinya dibuat oleh Bank Indonesia.

Moerdiono kala itu pun berpendapat bahwa kebijakan soal BLBI itu adalah hak presiden berdasarkan UU Perbankan yang berlaku waktu itu. Kalau kebijakannya salah, tidak bisa dihukum secara pidana tetapi dihukum secara politik dan itu bisa dilakukan jika ada pelanggaran terhadap hukum positif yang berlaku.

Entah hukuman apa yang akan berlaku terhadap orang yang paling berkhianat terhadap keringat rakyat. Semua itu belum dapat ditentukan karena cerita "bail out" Century masih "menggantung". (V002/K004)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010