"Saya menilai rancangan Qanun `Wali Nanggroe` mengisyaratkan Aceh kembali ke masa pemerintahan `zaman tengah` atau mundur ke belakang. Rancangan Qanun itu juga memiliki makna dari elite untuk rakyat atau sesuai apa maunya elite," katanya di Banda Aceh, Sabtu.
Saleh mengemukakan hal itu menyikapi adanya elemen masyarakat yang menolak rancangan Qanun lembaga "Wali Nanggroe" yang digagas para pihak di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
"Saya kira itu juga salah satu gejala bahwa kita mengalah dengan tatanan demokrasi dan modernisasi global, kembali ke belakang di zaman tengah," katanya.
Saleh mencontohkan, pada pasal 16 ayat 1 yang mengatur masa jabatan "Wali Nanggroe". Disebutkan bahwa masa jabatannya adalah seumur hidup.
Selanjutnya, dalam rancangan Qanun itu disebutkan apabila "Wali Nanggroe" meninggal dunia, murtad, dhalim, uzur, mengundurkan diri maka majelis "Wali Nanggroe" akan mengambil alih kekuasaan secara kolektif serta akan memilih seorang "Waliul Ahdi" yang menjalankan kepemimpinan "Wali Nanggroe".
"Saya memaknai bahwa yang berkuasa (Wali Nanggroe) maka akan meneruskan memilih orang-orang yang disukai dan dianggap tunduk pada sistem nilai yang dihayati atau diamalkan untuk melanjutkan kekuasaannya," kata dia.
Karenanya, Saleh menilai rancangan Qanun tersebut tidak memberikan suatu kenyamanan bagi orang-orang yang sudah mempunyai pandangan demokratis, menjunjung tinggi persamaan dan persaudaraan serta kemerdekaan berpikir untuk berbuat dalam suatu organisasi kesepakatan bersama atau negara hukum.
Rancangan Qanun tersebut, tambahnya, mengindikasikan bahwa Aceh sudah mengalah dan tidak sanggup berkompetisi dengan dunia global yang menjadikan demokrasi sebagai sarana untuk mendapatkan persamaan hak.
"Karenanya, saya berpendapat semestinya `Wali Nanggroe` itu sebagai lembaga kultural. Melalui lembaga itu bisa mengkreasikan produk baru di bidang kesenian, sastra dan masuk dalam peradaban kita sehingga bisa mendatangkan keuntungan yang lebih maju," kata dosen sosiologi hukum Unsyiah itu.
Ia mencontohkan, keistimewaan yang diberikan kepada Provinsi Yogyakarta telah dikembangkan atau dikreasikan ke dalam kultur.
"Tapi, dalam rancangan Qanun `Wali Nanggroe` justru kita ingin ke politik. Ekspansi ke politik supaya mendapat kekuasaan sehingga bisa mempunyai kewenangan mendapatkan sumber-sembur ekonomi," tambah Saleh Sjafei.
Oleh karena itu, ia mengharapkan pihak legislatif agar membuka ruang untuk menjaring aspirasi publik dari berbagai elemen masyarakat, sebelum rancangan tersebut dibahas di dewan.
"Semua orang perlu ngomong. Media juga harus menyiarkan pendapat orang lain yang tidak ikut di sini (pembahasan rancangan Qanun) dan betul-betul ada ruang diskusi untuk publik, sehingga bisa bersuara apakah rancangan itu patut atau tidak," katanya.
(A042/S024/A038)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010