"Nasib rakyat kecil belum juga bertambah baik. Padahal, bagi mereka kesejahteraan lebih penting dari segalanya, termasuk demokrasi dan semua aturannya," katanya dalam seminar "Jalan Menuju Kesejahteraan: Persembahan Kagama untuk Indonesia", di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, dalam kehidupan demokrasi yang otentik, suara rakyat ditempatkan di posisi tertinggi. Namun, saat ini ideologi kerakyatan itu berubah menjadi adagium baru, yakni politik uang, suara rakyat adalah suara uang.
"Setiap proses politik nyaris selalu ditransaksikan dalam bentuk uang, sehingga demokrasi mengalami distorsi yang luar biasa, di mana substansi demokrasi `dari, oleh, dan untuk rakyat` tidak pernah terwujud dalam praktik politik di Indonesia," katanya.
Ia mengatakan pada umumnya di negara yang memiliki jumlah penduduk miskin cukup banyak dan institusi sosial politik yang masih lemah, demokrasi gampang dimanipulasi oleh elite politik oportunis parlemen dan pemimpin despotik yang menawarkan janji populis agar bisa dipilih di parlemen atau eksekutif.
"Namun, setelah terpilih, mereka hanya memperluas kekuasaan, mencari rente ekonomi dan meninggalkan rakyat tetap dalam kemiskinan. Kekuasaan dijadikan sebagai `mesin pencetak uang` untuk membeli suara, sehingga proses manipulasi demokrasi yang berlangsung siklikal mengikuti kalender pemilu lima tahunan," katanya.
Menurut dia, demokrasi di mana pun adalah suatu proses, dan bukan sesuatu yang given for granted, tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian, demokrasi bukan tujuan, karena demokrasi hanyalah cara, dan tujuannya adalah kesejahteraan rakyat.
"Di negeri ini, demokrasi politik masih butuh waktu panjang, terlebih jika dikaitkan dengan tingkat kejahteraan bangsa. Kita masih perlu banyak belajar dan memperbaiki banyak hal untuk bisa mewujudkan demokrasi sebagai jembatan mencapai kesejahteraan," katanya.
Ia mengatakan usaha yang perlu diperjuangkan saat ini untuk mewujudkan demokasi yang bisa memenuhi syarat adalah penegakan hukum yang berkeadilan secara nyata dan memperbaiki kehidupan kepartaian dengan menampilkan politisi yang berkarakter, berbudaya, bertanggung jawab, dan mempunyai rasa malu.
(B015*V001/M008/A038)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010