Tolerasi secara sederhana ialah berupaya memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain.

Jakarta (ANTARA) - Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menyebutkan ada resep 3B dalam merawat dan menumbuhkan sikap toleransi sebagai wujud menjaga persatuan di tengah pluralisme dan keberagaman di Tanah Air.

"Ya, sebenarnya sederhana, pertama, kita ini harus lebih banyak bersyukur. Karena di tengah beragamnya suku, agama, ras, bahasa, dan budaya yang dimiliki bangsa ini, kita ini masih dalam kondisi yang sangat harmoni," ungkap Dr. Devie Rahmawati, S.Sos., M.Hum. dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Devie menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling kaya akan keragaman, salah satunya agama. Saat ini ada enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.

Oleh karena itu, semua warga negara dituntut untuk mampu saling bertoleransi satu sama lain, mengingat toleransi dapat mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai.

Menurut dia, karena toleransi itu sendiri sejatinya bukan untuk saling bertukar kepercayaan dengan penganut agama lain, melainkan lebih dari itu bahwa toleransi memiliki makna hidup berdampingan dan saling menghormati.

Ketua Program Studi (Prodi) Vokasi Komunikasi UI ini mengatakan bahwa masyarakat dapat belajar dari kondisi negara di Timur Tengah yang memiliki kesamaan sejarah dan bahasa. Namun, negara tersebut terus berada dalam pusaran konflik berkepanjangan.

"Kedua, untuk bisa memahami bagaimana hidup dalam perbedaan, harus membiasakan diri untuk hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda," ujarnya.

Baca juga: Wapres ingatkan tokoh agama jaga keharmonisan antarumat beragama

Sejak awal 2020, kata dia, seluruh negara di dunia dilanda pandemi COVID-19 yang memaksa masyarakat untuk tidak berkegiatan di luar sehingga membuat mereka bak hidup di dua alam, yaitu daring (online) dan luring (offline).

Ia mengemukakan bahwa kecanggihan teknologi informasi telah memanjakan penggunanya untuk memilih hidup di ruang-ruang yang mereka sukai saja, yang justru menjadi homogen yang membuat masyarakat menjadi sensitif dan sukar menerima perbedaan karena larut dalam pergaulan yang homogen di ruang digital.

Selanjutnya, ketiga adalah belajar terus untuk mengenal dan saling menerima perbedaan itu. Ketika sudah bertemu dengan orang yang berbeda tetapi tidak berusaha memahami orang yang berbeda tersebut, menurut Devie​​​​​, keharmonisan sulit tercapai.

Untuk memahami perbedaan tersebut, lanjut dia, tidak cukup hanya melalui teori semata, tetapi perlu dipraktikkan salah satunya dengan membiasakan diri bertemu, berinteraksi, dan berada dalam lingkungan dengan orang-orang yang berbeda-beda, baik dari segi agama, suku, ras, maupun pekerjaan, sehingga akan memiliki pengalaman untuk mengenali dan memahami indahnya perbedaan.

"Jadi, tahapannya ialah 4P agar masyarakat bisa toleran dengan perbedaan. Pertama, tidak cukup hanya lewat pengetahuan, tetapi juga harus punya pengalaman sehingga punya pemahaman. Ujungnya adalah P yang terakhir, memiliki penerimaan terhadap perbedaan yang ada," ujarnya.

Terkait dengan praktik intoleransi yang kian hari menjamur di tengah masyarakat, Devie berpendapat bahwa motif dan justifikasi terkait dengan munculnya praktik intoleransi sendiri karena sifat manusia yang cenderung mencari kenyamanan.

Devie menyebut hal tersebut didapatkan ketika berada di tengah lingkungan dan masyarakat yang memiliki persamaan.

"Manusia itu pada dasarnya akan mencari kenyamanan. Memang akan menjadi lebih nyaman kalau kemudian hanya berbicara, bersama, dengan berdekatan dengan orang yang menurutnya sama. Akan tetapi, hal itu tidak akan membangun peradaban di antara sesama manusia karena Tuhan yang menciptakan adanya perbedaan itu," kata Devie.

Direktur Kemahasiswaan UI ini pun menambahkan bahwa kenyamanan tersebut bukanlah berarti keamanan untuk peradaban, karena hal tersebut cenderung membuat seseorang lari dari kemanusiaan dan menolak rahmat yang Tuhan berikan melalui penciptaan manusia yang berbeda-beda dari fisik, wilayah, kemampuan, dan lainnya.

Baca juga: Gerak inklusif sebagai barikade menangkal intoleransi

Untuk itulah, Devie pun menyarankan langkah strategis yang bisa dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan pemuka agama agar bisa bersama-sama mengikis intoleransi di negeri ini demi mewujudkan Indonesia yang harmoni.

"Para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda harus menjadi teladan. Apa sih maksudnya teladan di sini? Mempraktikkan lelaku toleransi agar masyarakat dapat langsung menirunya, dan pelan–pelan merasakan manfaat dari damainya perbedaan," ucapnya.

Untuk itu, Devia mengatakan kunci dari kemajuan bangsa ialah kemampuan untuk berdamai dengan realitas sosial dan bersyukur telah dianugerahi surga perbedaan, yang akan menjadi kunci memimpin peradaban dunia.

"Tolerasi secara sederhana ialah berupaya memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain," kata Devie.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021