Secara historis Pancasila merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Sikap moderat dalam beragama merupakan kekayaan utama bangsa Indonesia yang dikenal religius. Kemajemukan bangsa dari sisi golongan, etnis maupun agama hendaknya tetap dijaga guna mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Moderasi beragama menjadi faktor penting untuk menjaga keutuhan NKRI ini. Moderasi tidak hanya dipahami dari aspek beragama saja tetapi juga diimplemtasikan dalam konteks yang lebih luas. Karenanya, moderasi perlu dijadikan arus utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Moderasi dalam Agama Islam dikenal dengan istilah wasatiyah (pertengahan), mengandung nilai untuk selalu bertindak secara proporsional (tawassuth), seimbang (tawazun) dan adil (I’tidal).
Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, ketiga prinsip ini menjadi karakter dasar utama "ahlussunnah wal jamaah". Dari ketiga sikap itu kemudian melahirkan sikap yang sangat fundamental bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di Indonesia yaitu sikap toleran (tasamuh).
Nilai-nilai moderasi ini ternyata sudah dicontohkan dengan baik oleh para pendiri bangsa dalam membangun konsensus nasional berkaitan dengan dasar negara yaitu Pancasila. Sikap untuk memberi dan mengambil (take and give) menjadi fondasi utama dalam membangun bangsa ini.
Secara historis Pancasila merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu pengakuan dan pengamalan terhadap Pancasila itu mutlak harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.
Nilai-nilai moderasi dalam Pancasila mendorong kita untuk bersikap toleran, menghargai kemajemukan, membangun kepercayaan dan saling memahami di antara sesama elemen bangsa.
Dengan mengedepankan sikap ini bangsa Indonesia akan terhindar dari perpecahan sehingga persatuan dan kesatuan akan semakin kokoh.
Sayangnya moderasi beragama saat ini masih disalahartikan oleh sebagian kelompok. Mereka khawatir bahwa agama, terutama Islam harus dimoderatkan atau dikompromikan dengan ajaran-ajaran lain.
Mereka juga beranggapan seseorang yang bersikap moderat dalam beragama tidak teguh pendirian bahkan tidak serius dalam beragama. Padahal yang menjadi fokus dari program moderasi beragama itu adalah bagaimana mengatur cara beragama kita, bukan agama itu sendiri. Cara beragama yang mengarah ke sikap ekstrem dan bertentangan dengan watak dasar manusia inilah yang perlu diubah.
Dalam buku saku yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia dengan "Tanya Jawab Moderasi Beragama" (2019) disebutkan bahwa pengamalan agama disebut berlebihan (ekstrem) apabila melanggar batasan kemanusiaan, konsensus bangsa dan ketertiban umum.
Prinsipnya menjalankan agama itu tidak boleh berakibat pada pelanggaran pada hak azasi manusia (HAM), menggoyahkan ideologi bangsa dan mengganggu ketertiban umum.
Pancasila sebagai Azas Bersama
Karena Pancasila itu sarat dengan nilai-nilai moderasi yang berfungsi menyatukan bangsa ini maka penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan azas bersama bagi organisasi sosial-keagamaan maupun politik menjadi sangat penting.
Walaupun proses penerimaan secara sempurna terhadap Pancasila mengalami berbagai dinamika tetapi pada akhirnya dengan berbagai pertimbangan, Pancasila dapat diterima sebagai azas terpenting dalam merekatkan semua elemen bangsa.
Penerimaan ormas Islam terhadap Pancasila sebagai azas semua organisasi misalnya, dipelopori oleh organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Tentu, sebagai bagian dari perumus Pancasila, NU menolak penafsiran tunggal Pancasila yang dipaksakan untuk kepentingan Orde Baru.
NU memandang kepentingan yang lebih luas untuk bangsa ini di mana Pancasila harus diletakkan sebagai dasar negara sebagai milik bersama dan berfungsi sebagai falsafah bangsa.
Bagi NU misalnya, komitmen terhadap Pancasila tidak hanya didasarkan pada kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia tetapi lebih dari itu telah menjadi bagian dari ideologi jam’iyah. Komitmen itu lahir sebagai kesadaran ideologis untuk mengawal NKRI.
Melalui Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU ke27 tahun 1984 jelas menunjukkan adanya kesadaran kebangsaan secara masif. Dalam keputusan Munas Alim Ulama 1983 secara gamblang disebutkan bahwa “penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.”
Setelah azas tunggal diterapkan oleh pemerintah pada 1985, NU termasuk organisasi sosial keagamaan yang paling siap dalam merespon dinamika pada saat itu.
Ada sebagian kecil ormas-ormas Islam maupun kepemudaan yang menolak secara keras penerapan azas tanggal dan berakibat pada kecurigaan rezim pada komitmen mereka terhadap NKRI.
Sikap moderat NU dalam menyikapi Azas Tunggal sebenarnya dapat ditelusuri jauh ke belakang dari pemikiran salah satu inisiator penerimaan Azas Tunggal yaitu KH Ahmad Siddiq.
Dalam bukunya yang berjudul Khittah Nahdiyah (1980) misalnya, beliau merumuskan dan sekaligus menjelaskan implementasi karakter utama nadliyah yaitu "tawassuth wal I’tidal".
Dalam hal implementasi karakter tawassuth dalam bidang bernegara beliau memberikan tiga contoh aplikatif yaitu 1) negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya 2) penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat serta ditaati dan 3) kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tatacara yang sebaik-baiknya.
Problematika Organisasi Transnasional
Penerimaan Pancasila sebagai azas dan landasan organisasi sosial keagamaan dan politik menjadi urgen.
Pancasila dapat dijadikan sebagai penyaring terhadap pengaruh ide-ide maupun gagasan-gagasan dari luar yang dibawa oleh organisasi transnasional, baik dari Barat maupun Timur. Komitmen terhadap Pancasila mengajarkan bahwa apa pun yang datang dari luar harus disesuaikan dengan karakter bangsa Indonesia.
Dalam hal ini gagasan pribumisasi Islam oleh KH Abdurrahman "Gus Dur" Wahid tentu melalui proses pemikiran yang panjang bahwa NKRI akan ajeg apabila ada kesadaran kolektif untuk mengamalkan ajaran agama dengan menimbang watak dasar bangsa Indonesia. Problematika dari kelompok Islam transnasional adalah ketidakmampuannya dalam melakukan adaptasi terhadap habitus Islam di Indonesia.
Akibatnya mereka menjadi garang dan tidak bersahabat dengan sesama saudara seagama, antaragama maupun sebangsa dan se-Tanah Air. Kelompok transnasional yang gagal beradaptasi dengan kemajemukan Indonesia dengan memaksakan gagasan khilafah adalah Hizbut Tahrir.
Beberapa kelompok transnasional lainnya yang masih terlihat gagap dalam melihat realitas Indonesia ini antara kelompok Salafi, Ikhwanul Muslimin maupun Syiah Revolusioner. Mereka ini harus bergegas menyelaraskan ideologinya karena di mana bumi dijejak di situ langit dijunjung.
Namun bukan berarti semua gerakan transnasional mengalami kegagalan dalam melakukan proses adaptasi di Indonesia.
Sebagai contoh kelompok tarekat dengan jejaring internasionalnya adalah organisasi transnasional yang mampu secara baik melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan masyarakat lokal. Bahkan ada dua tarekat besar di dunia yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang kemudian dihimpun menjadi satu tarekat oleh ulama Nusantara (Ahmad Khatib Sambas) menjadi Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah.
Tarekat ini kemudian menjadi kekayaan keagamaan penting di Nusantara dan tidak lagi menonjolkan sifat transnasionalnya. Beberapa kelompok transnasional dari Anak Benua India seperti Jemaah Tabligh maupun dari Turki seperti jaringan Said Nursi juga telah menunjukkan sikap yang lebih ramah walaupun tentu perlu proses panjang.
Penerimaan Pancasila sebagai azas bersama semua organisasi sosial keagamaan maupun politik urgen untuk dikokohkan kembali agar ke depannya persoalan ideologi ini tidak menghambat kontribusi semua elemen bangsa yang majemuk itu dalam membangun Indonesia.
Apa salahnya kita memiliki organisasi kemasyarakat maupun organisasi politik bercirikan Islam tetapi azas tetap sama yaitu Pancasila? Toh, ciri dan identitas khusus akan tetap melekat sementara komitmen kebangsaan akan semakin menguat. Dengan demikian maka tidak lagi muncul pertarungan ideologi yang berdampak pada saling curiga akan komitmen kebangsaan dalam membangun bangsa ini.
Tanpa mengurangi apresiasi akan kontribusi historis ormas-ormas lainnya di Indonesia, tentu kita sebagai bangsa Indonesia patut bersyukur dengan anugerah hadirnya NU sebagai ormas Islam terbesar di dunia dengan ribuan jaringan pesantrennya yang selalu menunjukkan sikap moderat dalam beragama. Kewajiban kitalah untuk merawat konsensus bangsa ini demi tegaknya NKRI sepanjang masa.
Pengarusutamaan moderasi adalah kunci mengawal NKRI. Tentu dengan memperluas dialog dan kerja sama antarelemen bangsa.
*) Yon Machmudi, PhD adalah Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia (UI) dan Direktur Eksekutif Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind)
Baca juga: Wapres nyatakan moderasi beragama jadi solusi tantangan Islam kini
Baca juga: Uhamka gelar konferensi Islam moderat internasional
Baca juga: Wamenag ajak pemuda Kristen perkuat moderasi beragama
Baca juga: FPKS nilai moderasi Islam faktor penting kebangsaan Indonesia
Copyright © ANTARA 2021