Jakarta (ANTARA News) - Kekerasan yang terjadi di Indonesia diakibatkan frustasi yang terjadi pada tingkat politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Jika orang tidak mampu lagi bertahan dalam kehidupan maka ia melakukan kekerasan terhadap orang yang bisa ia dominasi.

"Dan jika tidak bisa, ia akan melakukannya pada orang terdekat yaitu keluarga. Jika tidak bisa juga maka ia akan melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri atau bunuh diri," kata budayawan Radhar Panca Dahana di Jakarta, Rabu.

Radhar mengemukakan hal itu ketika menjadi salah satu pembicara dalam diskusi "Kekerasan dan Rapuhnya Politik Multikulturalisme Negara" yang diselenggarakan Maarif Institute.

"Kekerasan itu bagian atau energi negatif dari Kebudayaan," ujarnya kemudian mengemukakan bahwa banyaknya undang-undang yang disahkan tiap tahun hanya kedok.

"Orang Indonesia itu paling pintar menghianati aturan. Setiap kekerasan ada di setiap suku di Indonesia tetapi mereka punya mekanisme penyelesaian masing masing," katanya.

Mengenai kekerasan berlatar agama, Radhar mengatakan maraknya hal ini karena pemerintah absen dalam menjaga kerukunan antar umat beragama sehingga kekerasan itu tak terselesaikan.

"Negara mengalami 'split personality' . Dari luar ia tampak begitu modern tetapi di dalamnya justru pramodern karena ada unsur yang sifatnya spiritualistik dan kerap dilakukan tapi tidak mau diakui, termasuk pembiaran kekerasan yang tak diselesaikan," katanya.

Sementara itu Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan indonesia) Asvi Warman Adam mengungkapkan bahwa faktor sejarah turut menentukan kekerasan di Indonesia.

"Kekerasan itu berulang karena tidak diselesaikan, dan sejarah membentuk kekerasan sehingga kekerasan yang terjadi di masa lalu juga berulang di masa kini. Hal ini terjadi karena kekerasan yang terjadi tidak diselesaikan," kata Asvi
(yud/A038/BRT)

Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010