"Kami belum tahu dananya dari mana, namun akan diusahakan," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro, Djindan Muhdin, Rabu.
Berapa besar dana yang dibutuhkan untuk ekskavasi, ia belum bisa menyebutkan.
Pada langkah awal, menurut dia, pihaknya akan mengusulkan dana ekskavasi bisa diajukan agar mendapatkan dari APBD 2011.
"Bisa juga dana dari bantuan pihak lain, termasuk BP3 Trowulan bisa diminta bantuan untuk melakukan ekskavasi," katanya.
Dia menjelaskan, adanya ekskavasi tumpukan batu bata kuno oleh Tim Universitas Indonesia (UI) yang diduga candi peribadatan tersebut, bisa meningkatkan daya tarik wisatawan datang ke obyek wisata api abadi itu.
"Ini temuan menarik yang tidak ada di tanah Jawa," kata pria keturunan Arab itu.
Dalam keterangannya kepada Wartawan, Dr Ali Akbar, S,S., Mhum dari UI mengemukakan, di sebelah tenggara titik api dengan jarak 20 meter, ditemukan struktur bangunan dari batu bata. Penggalian yang dilakukan memperlihatkan sisi utara bangunan sepanjang 10 meter.
Ketebalan bangunan mencapai 50 centimeter, atau terdiri dari atas lima lapis bata, empat lapis bagian bawah disusun dari batu bata, sementara lapisan paling atas berupa batu kapur yang telah dibuat sehingga berbentuk seperti batu bata.
Selain itu, tim UI menemukan sebuah besi berukuran panjang 32 centimeter pada kedalaman 25 centimeter di bawah permukaan tanah.
Temuan lain, menurut dia, pecahan tembikar atau gerabah lokal yang memperkuat kemungkinan Kayangan Api di masa lalu merupakan sebuah pemukiman.
Bangunan yang berada di timur Kayangan Api, berukuran 40 X 40 meter. Ketinggian belum diketahui, karena di kedalaman 50 centimeter masih terdapat lapisan batu bata.
"Perkiraan dulu merupakan bangunan yang memiliki atap," katanya.
Menurut dia, masyarakat yang bermukim di situs setempat, diduga merupakan kelompok pertama atau resi yang menyepi untuk mendekatkan diri kepada Yang Kuasa.
Dia menceriterakan, di Hindu dikenal Dewa Agni atau Dewa Api yang berada di sebalah tenggara mata angin. Konsep keagamaan seperti ini, relatif jarang ditemui di Pulau Jawa dan mungkin temuan ini, satu-satunya di Pulau Jawa.
"Situs ini digunakan masyarakat sekitar akhir masa Kerajaan Majapahit, 1400 - 1500 Masehi," katanya.
(T.KR-SAS/M008/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010