Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas mengatakan belum perlu ada penengah untuk menjembatani antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Sultan HB X terkait polemik RUU Keistimewaan Yogyakarta.
"Belum perlulah ada penengah segala. Ini sebenarnya tak ada apa-apa, hanya draf RUU-nya belum masuk ke DPR," kata Ketua MPR Taufiq Kiemas di ruang kerjanya di gedung parlemen Senayan Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR Lukman Edy mengusulkan Ketua MPR Taufiq Kiemas bisa menjadi penengah untuk mendamaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam polemik soal RUUK DIY.
Menurut Taufiq Kiemas kedua tokoh nasional, baik Presiden SBY dan Sri Sultan HB X, merupakan tokoh-tokoh yang menghayati benar empat pilar berbangsa dan bernegara. Karena itu, Kiemas yakin tidak ada persoalan serius diantara keduanya.
Taufiq Kiemas juga membantah kekawatiran beberapa orang yang menilai polemik soal RUUK DIY ini mengarah keancaman perpecahan.
"Presiden SBY ini jagonya empat pilar begitu juga Sultan. Jadi keduanya sama-sama jago empat pilar," kata Taufiq Kiemas.
Karena itu Taufiq Kiemas meminta semua pihak segera menghentikan polemik soal ini. Ia mendesak pemerintah segera masukan RUUK DIY ke DPR.
"Mendagri juga hentikan, tidak usah berikan pernyataan kalau memang belum ditandatangani presiden. Sementara Sultan HB X juga harus berjiwa besar, hentikan spanduk-spanduk dan pengibaran bendera-bendera," kata Taufik Kiemas.
Sebelumnya Ketua FPKB lukman Edy menilai bahwa isu soal RUUK DIY ini sudah melebar kemana-mana. Bahkan situasinya sudah mulai rawan karena bisa mengancam keutukan NKRI. Padahal, tambahnya, NKRI itu adalah harga mati.
Karena itu, Lukman juga meminta segera dihentikan polemik masalah ini karena sudah menyentuh wilayah sensitif bagi bangsa Indonesia.
"Semua pihak harus menahan diri. Cari langkah-langkah yang arif. Tahan emosi dan pemerintah juga jangan ngotot," kata Lukman Edy.
FPKB, tambahnya, juga mengusulkan agar usulan resmi DPD soal RUUK DIY yang sudah mengambarkan representasi rakyat, bisa digunakan.
Lebih lanjut Lukman menegaskan bahwa soal NKRI merupakan harga mati, karena itu untuk NKRI apa pun dilakukan dan diberikan.
"Aceh mau kekhususan kita berikan asal tetap NKRI. Papua juga begitu, jadi DIY juga begitu. Apapun kita pertaruhkan untuk NKRI," kata Lukman.
Dengan bergulirnya polemik soal DIY ini, tambahnya, saat ini muncul rasa kekawatiran daerah lain.
"Kalau keistimewaan DIY diutak utik. Yogya yang jantungnya NKRI saja diutak-utik. Bisa saja nanti yang lain (Papua, Aceh, DKI) dicabut," kata Lukman.
Selain itu, tambahnya, dengan makin melebarnya polemik ini telah membuka pintu bagi kekuatan-kekuatan anti NKRI untuk melakukan konsolidasi.
Sementara Ganjar Pranowo menegaskan bahwa wacana yang dikeluarkan pemerintah saat ini sebenarnya tidak ada perubahan sama sekali.
"Dari substansi sebenarnya tidak ada isu baru. Sejak 2009 sampai hari ini pemerintah bicarakan tak ada yg baru. Ini konsepnya pararadya tapi diubah dengan nomenklatur baru namanya gubernur utama," kata Ganjar.
Ganjar menilai, sepertinya pemerintah sedang mencoba-coba hanya sayangnya masyarakat Yogja cukup cerdas.
"Kalau saya simpel saja, segera saja pemerintah kirim drafnya," kata Ganjar.
(J004/D011/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010