Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafi`i Ma`arief mangatakan bahwa keistimewaan Yogyakarta tidak perlu diganggu dengan isu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

"DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) disinggung-singgung seolah mencederai demokrasi dan UUD 1945, itu dari mana? Bahkan UUD 1945 sendiri mengakui keistimewaan Yogyakarta," katanya di Jakarta, Rabu.

Ia menambahkan, secara kesejarahan, justru Yogyakartalah yang menjaga Indonesia dan demokrasi di Indonesia tetap dapat berjalan.

Ia mengatakan, tanpa peran Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX, yang rela membiayai keberadaan negara Indonesia di masa revolusi, sulit untuk membayangkan negara Indonesia dan demokrasi itu ada.

"Untuk itu, pemerintah tak perlu buat gara-gara dan `goro-goro`. Kalau ini namanya gara-gara dan goro-goro," katanya.

Seperti diberitakan, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan ketidakcocokan antara monarki dan demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendapatkan tanggapan dari banyak pihak.

Pernyataan Presiden kemudian dijabarkan dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan diusulkan dengan memuat pasal terkait pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Padahal selama ini Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang diistimewakan memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur yang ditetapkan, yaitu sultan dari Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alam.

Namun dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan diajukan, mengubah penetapan menjadi pemilihan secara langsung. Hal itu memicu berbagai aksi penolakan di Yogyakarta.

Ribuan, masyarakat Yogyakarta pada Senin (13/12) melakukan aksi sidang rakyat yang diawali dengan long march massa dari alun-alun utara Yogyakarta menuju Gedung DPRD DIY di Jl Malioboro, Yogyakarta untuk menyatakan sikapnya menolak rencana pemerintah pusat.

Sebelumnya, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo memilih keluar dari Partai Demokrat dan menyatakan dirinya siap untuk turun ke jalan guna memperjuangkan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya terkait dengan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur melalui penetapan.

Perkembangan saat ini dinilai berpotensi mendorong terjadinya konflik yang berkelanjutan. Beberapa pengamat dan tokoh mendorong agar Presiden Yudhoyono dan Sri Sultan Hamengku Buwono X melakukan dialog untuk meredam terjadinya benturan yang tidak diinginkan.

Sementara Pengamat Politik Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai, perlu melibatkan Sultan dan Paku Alam serta tokoh Yogyakarta lainnya dalam pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta untuk menghindarkan terjadinya kontroversi.

(M041/R018/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010