Jakarta (ANTARA) - Indeks Demokrasi 2020, Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Norwegia menjadi negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia. Pada saat yang sama, indeks demokrasi Indonesia tercatat menduduki peringkat 64 dunia dari 167 negara dengan skor 6.48. Posisi tersebut menempatkan Indonesia tertinggal dari negara serumpun Malaysia di urutan 43 dengan skor 7,16.

Pertanyaan mendasar, mengapa indeks demokrasi Indonesia rendah ? Apa penyebab indeks demokrasi Indonesia rendah ? Bagaimana sebaiknya upaya yang ditempuh agar indeks demokrasi Indonesia meningkat dari peringkat 64, bukan malah sebaliknya semakin menurun kualitasnya. Bagaimana masyarakat membiasakan untuk berbeda pendapat dan saling menerima.

Sebagai gambaran, EIU merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Dalam laporan itu menujukkan Norwegia meraih skor tertinggi yakni 9,81 dan menjadikannya negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia. Di posisi kedua ada Eslandia (skor 9,37), disusul Swedia (skor 9.26), Selandia Baru (skor 9,25), dan Kanada (skor 9,24). Adapun negara dengan indeks demokrasi paling rendah adalah Korea Utara, dengan skor 1,08.

EIU menyebut secara global indeks demokrasi dunia menurun dibandingkan tahun lalu. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44. Angka ini pun tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU meluncurkan laporan tahunannya pada 2006 silam.

Berdasarkan skor yang diraih, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh (full democracies), demokrasi penuh adalah negara-negara yang di mana kebebasan sipil dan kebebasan berpolitik tidak hanya dihormati, namun juga diperkuat oleh budaya politik yang kondusif dan matang sehingga prinsip-prinsip demokrasi dapat berjalan.

Demokrasi belum sempurna (flawed democracy), masuk kategori tidak mulus pada aspek-aspek proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil yang dinilai dibawah standar.

Rezim hibrida (hybrid regimes), rezim hibrida adalah negara-negara yang terdapat tindak kecurangan dalam pemilu reguler serta keberadaan negara dirasa sedikit menghalangi rakyatnya untuk mendapatkan demokrasi yang adil dan bebas.

Rezim otoriter (authoritarian regimes), Ini kontras dengan individualisme dan demokrasi. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter yaitu satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin. Sistem rezim otoriter ini kebanyakan menentang demokrasi, sehingga kebanyakan kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melewati sistem demokrasi pemilihan umum. Indonesia senantiasa dalam kategori negara demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies).

Upaya dan komitmen
Untuk itu apa dan bagaimana upaya dan komitmen pemerintah dalam meningkatkan indeks demokrasi di Indonesia. Tidak hanya pemerintah, melainkan semua stakeholders yang sangat berpengaruh terhadap kualitas indeks demokrasi Indonesia. Pemerintah sebagai lokomotif.

Pemerintah sendiri dengan tegas berkomitmen menjaga demokrasi Indonesia. Sekaligus mengkaji mengapa indeks demokrasi Indonesia rendah? Apa penyebab indeks demokrasi Indonesia rendah? Bagaimana sebaiknya upaya yang ditempuh agar indeks demokrasi Indonesia meningkat dari peringkat 64, bukan malah sebaliknya semakin menurun kualitasnya.

Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan, pemerintah berkomitmen kuat merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia. Hal itu disampaikan menyikapi Laporan “Democracy Index 2020: in Sickness and in Health?” dari The Economist Intelligence Unit 2021 yang menempatkan Indonesia pada kategori demokrasi yang belum sempurna.

Terlepas dari angka indeks demokrasi EIU, pemerintah berkomitmen kuat merawat demokrasi, demokrasi yang menyelamatkan negara dan Indonesia yang plural. Itulah komitmen pemerintah walau, berat tetap diusahakan apalagi pandemi Covid-19 memberikan dampak kepada demokrasi dan kebebasan bahkan di dunia.

Dari lima indikator penilaian, Indonesia mendapat nilai 7,92 untuk proses Pemilu dan pluralisme, 7,14 fungsi pemerintah, 6,11 partisipasi politik, 5,63 budaya politik demokrasi, dan 5,59 kebebasan sipil.

Pembangunan demokrasi dan politik merupakan hal yang penting dan terus diupayakan pemerintah, baik di provinsi maupun kabupaten dan kota. Namun, untuk mengukur pencapaiannya baik ditingkat daerah maupun pusat bukan sesuatu hal yang mudah.

Pembangunan demokrasi memerlukan data empirik sebagai landasan pengambilan kebijakan dan perumusan strategi yang spesifik dan akurat. Agar Indonesia dengan kategori negara demokrasi yang belum sempurna menuju demokrasi penuh.

Sebagai contoh, untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan demokrasi politik di Indonesia maka sejak 2009 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melakukan Langkah dengan dirumuskanlah Pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).

IDI adalah indikator komposit yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia. Tingkat capaiannya di ukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek demokrasi, yaitu : Kebebasan Sipil (Civil Liberty); Hak-Hak Politik (Political Right); dan Lembaga-Lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).

IDI bertujuan mengukur secara kuantitatif tingkat perkembangan demokrasi. Dari Indeks tersebut akan terlihat perkembangan demokrasi sesuai dengan ketiga aspek yang diukur.

Secara umum, hasil IDI di Jawa Tengah diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek demokrasi itu, serta 11 variabel yakni, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi, hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, pemilu yang bebas dan adil, peran DPRD, peran partai politik, peran birokrasi pemerintah daerah, peran peradilan yang independen.

Penyebab naik turunnya skor IDI
Sekurang-kurangnya ada delapan aspek yang bisa mempengaruhi naik atau turunnya skor IDI. Pertama, kurangnya rasa aman dan nyaman di lingkungan masyarakat untuk mempunyai kebebasan dalam berkumpul, berpendapat dan berkeyakinan. Kedua, masih banyaknya demonstrasi maupun pemogokan yang dilakukan dengan kekerasan.

Ketiga, lemahnya peran DPRD dalam mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan, menginisiasi perda, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah. Keempat, masih banyak kendala dalam pelaksanaan pilkada terkait validasi DPT, fasilitas bagi kaum disabilitas serta rendahnya partisipasi politik masyarakat.

Kelima, rendahnya peran partai politik dalam melakukan kaderisasi. Keenam, rendahnya prosentase perempuan dalam kepengurusan partai politik. Ketujuh, rendahnya peran peradilan sehingga masih terjadi penghentian penyelidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi, dan Kedelapan, banyaknya kritik dan ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokrasi yang membuat masyarakat menjadi apatis dan masa bodoh terhadap kebijakan yang ditetapkan.

Edukasi dan persuasif
Bagaimana masyarakat membiasakan untuk berbeda pendapat dan saling menerima. Untuk meningkatkan indeks demokrasi Indonesia, disamping komitmen pemerintah, juga peran serta masyarakat sipil membiasakan untuk berbeda pendapat dan saling menerima. Hormatilah pendapat orang lain, walau kita setuju. Perbedaan justru perekat dan kaya bukan sebaliknya menjadi renggang, saling curiga, dan sensitif golongan.

Tenggang rasa adalah sikap kita dalam menyikapi perbedaan sehingga tidak menyakiti ataupun menyinggung orang lain. Dengan tenggang rasa kita dapat berlaku baik pada orang lain walaupun orang tersebut banyak memiliki perbedaan dengan kita.

Dilansir dari Psychology Today, ini adalah aturan emas dalam bermasyarakat di mana jika kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain maka kita juga harus memperlakukan orang lain dengan baik. Tenggang rasa membuat kita lebih berhati-hati dalam setiap perbuatan kita.


*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, pengamat kebijakan publik, fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Semarang dan pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng

Copyright © ANTARA 2021