Jakarta (ANTARA News) - Hari Nusantara yang diperingati setiap 13 Desember dinyatakan sebagai hari besar (non-libur) pada 2001 dalam masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri. Dipilihnya tanggal tersebut sebagai Hari Nusantara merujuk kepada deklarasi yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Djuanda pada 13 Desember 1957.
Secara ringkas, Deklarasi Djuanda berisi pernyataan bahwa perairan antar-pulau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari RI dan karenanya Indonesia berhak penuh atasnya.
Pada masa itu pernyataan Djuanda sangat luar biasa karena anggapan umum yang berlaku sejak lama menyatakan bahwa laut teritori satu negara hanya sejauh 12 mil dari garis pantainya atau sejauh tembakan meriam. Lewat dari jarak itu sudah merupakan perairan internasional. Pada 1982 pemikiran Djuanda diterima oleh kalangan internasional dan diundangkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Jadi, raision d'etre Hari Nusantara adalah pengakuan bahwa Indonesia merupakan negeri bahari. Atau, mengutip semboyan TNI AL, Jalesveva Jayamahe, justru di laut kita jaya.
Kenyataan pahit
Kendati demikian, kenyataan yang ada menunjukkan jangankan mencapai kejayaan di laut yang ada malah laut ditinggalkan. Karena menyadarkan kita akan kenyataan tersebut peringatan Hari Nusantara patut dihargai keberadaannya.
Ia menjadi obat untuk amnesia massal yang kita alami. Ia seolah berkata, hai anak bangsa, lihatlah ke laut dan kembalilah ke sana. Di sanalah terletak kejayaan Indonesia.
Amnesia yang dialami begitu parahnya sehingga tidak ada satupun bidang yang terkait dengan laut bisa dibanggakan. Contohnya, hingga hari ini kita tidak punya satupun pelabuhan laut yang betul-betul berkelas dunia seperti PSA Singapura atau Tanjung Pelepas, Malaysia. Tanjung Priok, yang merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia, tidak pernah bisa bebas dari kemacetan manakala tiba waktu closing pemuatan barang ke atas kapal.
Contoh lain, sampai sekarang kita tidak punya perusahaan pelayaran nasional yang bisa disejajarkan dengan Neptune Orient Line (NOL)-nya Singapura. Djakarta Lloyd, yang disebut-sebut sebagai flag carrier (mungkin pertimbangannya karena perusahaan ini merupakan BUMN) ternyata hanya memiliki beberapa gelintir kapal pengangkut petikemas. Itupun bertonase kecil. Malah kini sedang terancam bangkrut
Jangan lupa, di negara kepulauan terbesar di dunia ini sampai sekarang sektor perbankannya masih menganggap bisnis maritim, khususnya pelayaran, sebagai bidang usaha yang beresiko tinggi. Sehingga, mereka mengenakan tingkat suku bunga yang sangat tinggi, lebih dari 10 persen. Padahal, di negeri jiran Malaysia dan Singapura suku bunga untuk kalangan pelayaran berkisar antara 7-8 persen.
Tak ada prioritas
Sebetulnya pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membangun bidang maritim di Tanah Air. Tapi, mungkin karena kita telah tercerabut begitu jauhnya dari akar jatidiri sebagai negara bahari, semua kebijakan itu hampir-hampir tidak banyak berpengaruh.
Ambil contoh Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Sejak dikeluarkan peraturan tersebut hingga saat tidak juga bisa mendorong pihak perbankan untuk lebih mendukung pelaku usaha pelayaran dengan memberikan kredit berbunga rendah.
Selain mengeluarkan Inpres tersebut, pada tahun yang sama, pemerintah juga telah meratifikasi International Convention on Maritime Liens and Mortgage (Konvensi International tentang Piutang Maritim dan Mortgage, 1993) melalui Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005. Tapi, tetap saja pihak perbankan tidak merubah perlakuannya kepada industri pelayaran dalam negeri.
Dari sisi regulasi, bisnis maritim di Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang cukup. Yang tidak dimiliki hanyalah skala prioritas. Kita sepertinya ingin menjadi yang terbaik di semua aspek bidang maritim sekaligus. Dalam perspektif Michael Porter, kita tidak bisa kompetitif di tengah keunggulan komparatif yang dimiliki.
Bagi para decision maker, peringatan Hari Nusantara tahun ini harus mampu dijadikan momentum untuk memperbarui semangat dalam mengelola negeri ini. Syukur-syukur semangat itu bisa langsung diwujudkan dalam berbagai keputusan yang lebih pro-bahari.
Dan, peringatan Hari Nusantara tahun ini harus juga bisa dijadikan awal baru untuk penentuan skala prioritas pembangunan bidang maritim nasional. Saatnya menentukan apakah kita hanya perlu satu pelabuhan yang betul-betul layak disebut sebagai pelabuhan kelas dunia. Atau, apakah kita hanya perlu menjadikan perusahaan pelayaran nasional betul-betul sebagai flag carrier yang disegani. Atau yang lainnya. Terserah.
Yang jelas, begitu skala prioritas sudah ditetapkan ia akan dijalankan dengan segenap keseriusan. Hal lain di luar itu harus mau dikesampingkan terlebih dahulu hingga prioritas tadi tuntas terlaksana. Jika dalam mengemban misi menyukseskan prioritas yang ditetapkan ada perusahaan atau pelaku usaha yang perlu diproteksi, ukurannya bukan BUMN atau non-BUMN. Boleh siapa saja. (***)
* Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Jakarta
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010